Bab 6: Kiamat?

3.4K 175 3
                                    


Bismillah...
Assalamualaikum
Selamat membaca

Tiada kenal

Apa itu permata

Tiada peduli

Apa itu terluka

Cahaya tiadalah gelimang

Tangan tak sentuh

Hati tak keluh

Pandanglah

Tunduk

Tak lagi merajuk

Langit tak sampai

***

''Kedamaian hati, adalah sesuatu yang paling berharga. Kau mencoba menengadah tangan pada dunia, tak usah berangan tangan tergenggamnya.''

Bak lautan instan yang tetiba tergenang menyisakan hujan di mata insan. Lainlah biru warnanya. Lainlah sejuk terpandang. Lainlah mendayu akan eloknya gelombang. Semoga hanya tengah bertamu, dan kembali bergegas tak datang lagi. Begitulah angan ratusan manusia yang menjadi jiwa terenggutnya tempat mereka biasa berpijak. Dua orang lelaki yang kini tengah melajukan mobilnya menuju rumah kepala desa pun turut serta berangan demikian. Terpampang jelas musibah di depan mata begitu menyesakkan dada.

Keempat ban mobil tersebut belumlah berhenti berputar. Melewati jalanan aspal yang ukuran lebarnya tak seberapa. Tetapi masih lebih besar jika disandingkan nilainya dengan jalanan kompleks.

Benda berbentuk lingkaran di hadapan Alif diputarnya perlahan dengan seimbang ke arah kanan. Sementara lembaran-lembaran yang telah terisi kalimat tanya yang siap menanti jawaban,  jelas di depan mata Althaf. Sesuatu tercekat di hati lelaki itu. Menimang kembali ingatan dua puluh menit yang lalu, kemudian berputar balik pada sebuah waktu yang membuatnya tergagu.

Tibalah di depan halaman rumah kepala desa setempat yang keberadaannya cukup jauh dari lokasi banjir. Gerakan sepatu Althaf dan Alif beriringan memijaki tanah lembab pekarangan.

''Assalamualaikum.''

Daging tak bertulang dari kedua cowok itu demikian mengucapkan salam. Tidak ada suara yang mecerminkan tanda-tanda aktivitas di dalam rumah. Bunyi kursi kayu yang tampak sudah sedikit lapuk mencuat begitu Alif mendudukinya. Seorang wanita tua yang sedang membakar tumpukan sampah di samping rumahnya menjulurkan kepala melihat Althaf dan Alif.

''Arep nggolekki sopo, le? Mau mencari siapa, nak? ''

Althaf dan Alif terperangah mendengar wanita itu berbicara. YAng mampu dijamahnya hanyalah melodi tanya yang terujar, tapi tak mampu menjamah makna kalimatnya.

''Yo cawo apa, Al? Dia kata apa, Al?'' tanya Alif seketika.

''Nyak juga mak paham, Lif. Saya juga tidak paham, Lif.''

Di samping percakapan mereka, wanita dengan posisi rambut tergigit jepitan itu paham. Kedudukan dua bahasa yang berbeda tengah bertahta di antara mereka, tiada satu pun turut serta paham apa yang dikata. Cukup berhipotesis.

''Maaf, kalian mau cari siapa datang kesini? Ada keperluan apa?'' pertanyaan wanita itu terlengkapi.

''Oh, kenalkan Bu saya Althaf, dan ini kawan saya Alif. Kami mencari Pak Kepala Desa, untuk wawancara soal masalah banjir di desa ini.'' Kedua tangan Althaf tertangkup di depan dada. Memicu adanya reaksi cukup kaget pada wajah sang wanita tua. Sekilas langsung memahami kondisi.

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang