Bab 12: Oksigen

2K 148 2
                                    

Bismillah
Assalamualaikum
Selamat membaca

Retakkan

Ia dahulu

Bengis utama

Ketuklah

Yang mengetuk tak sejauh matahari

Getarlah

Jelma cinta tanpa disadari

***

Napasku saja dari-Mu, maka matiku pun untuk-Mu.

***


Tiang tinggi bercahayakan tiga warna lampu itu sejenak terpaku pada posisi lampu merah. Dalam hitungan tigapuluh detik kendaraan dari jalur kiri arah Taman Kota berhenti. Suara-suara mesin yang terdengar datar melingkupi sekitarnya. Walau masih kalah dengan beragam suara kecepatan laju kendaraan dari jalur lain. Trotoar jalan hanya dilintasi satu-dua pejalan kaki yang menikmati malam minggu. Tak kenal waktu dengan kehidupan di kota, padahal lingkar waktu Indonesia bagian Barat telah berposisi pada angka 10 malam.

Hasna menyetop taksinya. Bertepi di jalan beberapa meter dengan warung Lastri. Sebelum datang, Gadis itu juga sudah menghubungi Nuha. Perihal keberadaannya di sana dan keramaian warung yang ternyata sudah sepi pengunjung. Salam terlantun ragu dari bibir manisnya. Menyapa Lastri yang masih berkutat dengan membereskan barang-barang. Namun, di sana mata Hasna masih menjamah seorang pengunjung yang sibuk menikmati makanannya. Tinggal beberapa sendok nasi itu terkapar di piring.

''Eum, Nuha mana, Bu?''

''Nuha tadi Ibu suruh pulang. Ambil keranjang dulu buat wadah sayuran mentah ini.''

''Oh, perlu bantuan gak, Bu?''

Segaris senyum tertariklah di sudut bibir wanita itu. Lidahnya kembali berkata, dan justru menitah Hasna duduk saja. Lagipula hanya sedikit lagi yang perlu dibereskan. Begitulah kata Lastri.

Gadis itu menaruh tas di atas meja, dijadikannya bantal. Napasnya berembus, lantas tertahan panjang sesekali. Ada gejolak yang sedang merindukan ketenangan di sana. Dari caranya bernapas, tatapan matanya, hingga kondisi tubuh yang jelas sekali memajang layar kerancauan hidup. Baru beberapa detik tubuhnya dijatuhkan di kursi, bola mata indah itu hampir saja mengatup. Sebuah notifikasi menyebabkan ponselnya berdenting lembut, dan menyadarkan jiwanya yang hampir terlelap.

Ia tersenyum. Melihat notifikasi bertuliskan DiksiInspirasi di layar ponselnya entah mengapa ada calon cahaya yang siap menerangi langkah itu. Calon cahaya yang siap melepaskan ruangan gelapnya walau sedikit.

Seperti biasa, hanya sebuah gambar bertuliskan judul untuk caption-nya. Hingga detik ini, sang pemilik akun tiada sekali pun memberi tanda-tanda wajahnya. Walau sekadar tangan, punggung ataupun kaki sama sekali tidak.

Hidup terpenting seorang manusia adalah udara. Entah dia seorang yang berduit, ataupun tidak. Mari bernostalgia tepat kala detik-detik indra penciuman ini mengenal baunya oksigen. Sebuah nyawa pendukung bagi kita hingga detik ini. Entah siapapun kamu yang tengah membaca tulisan ini pasti sedang dalam kindisi berbeda. Namun sadarilah, perbedaan yang merasuk tetap jua adanya persamaan. Sama-sama butuh oksigen.

Lihat bahwa bumi tua bukan atas keinginannya, tapi karena waktunya. Sama dengan usia kita bukan? Kita menjadi tua karena telah waktunya. Begitupun dengan kekayaan yang dimiliki karena telah waktunya. Mengertilah hati yang masih merasa paling kaya. Kekayaan yang kini tertangkup tangan telah dipersembahkan-Nya di antara seribu waktu yang baik. Menunggu kebaikan pun terulur. Tapi sadarkah, kadang kebaikan menjadi kemunafikan terjadi. Kekufuran mengarungi diri begitu saja.

Seribu truk emas yang dimiliki sekarang adalah sekarang adanya. Bukan sejak lahir ke muka bumi sudah menggenggan perhiasan tersebut. Dahulu tiada daya dan upaya, sebatas menangis. Tapi mengertilah, pertolongan Allah begitu dekat. Andaikan kedua orang tua kita itu miskin dan menghirup udara harus membayarnya. Andaikan. Pasti manusia akan menyembah-nyembah Tuhannya.

Sekalipun sejak lahir kita diberi sekantong emas, tetap tak akan mampu menghidupi diri sendiriManusia membutuhkan oksigen sebanyak 2.880 liter dan nitrogen 11.376 liter perhari. Dengan ukuran sedemikian, dihargai sejumlah uang senilai Rp 185 juta. Terbayang, betapa manusia segalanya bergantung pada Allah? Andai Dia tidak Mahabaik. Jadi apa manusia di muka bumi ini? 

Tidak banyak diksi dan puisi kali ini. Namun insan di balik tulisan ini masih tetap berharap mampu mengetuk banyak hati yang masih kehilangan jati diri.

Dan kali ini, Hasna benar-benar terbayangi kalimat terakhir si penulis. Langit hotel yang kini tengah dipandanginya seakan menonjolkan huruf-huruf tadi. Sadar atau tidak, padahal insan di balik akun tersebut berada tak jauh darinya. Tadi, sewaktu di warung Nuha.  Ya, seorang pengunjung tadi yang masih makan. Althaf. Usai makan lelaki itu langsung mengunggah tulisannya. Masih pada posisi di warung Lastri. Tanpa sadar, dua punggung manusia itu saling membelakangi. Yang satu mencoba mengetuk hati di ruang gelap yang masih tertutup, dan yang satu lagi merasa telah terketuk hatinya. Tanpa disadari, skenario Allah begitu indah bukan?

Hasna bangkit dari posisi tidurnya. Bergegas mencuci muka. Saat kembali, ia langsung menutup diri dengan selimut. Terpejam. Sayang, kegundahan di hati benar-benar ingin membunuh Gadis itu. Ia sudah cukup merasa kenyaman di dalam tulisan tadi. Dan kali ini ingin menyelami mimpi. Istirahat. Sungguh, ia lelah akhir-akhir ini. Air matanya banyak meluncur. Bahkan kali ini, tiba-tiba kesesakan datang lagi hanya saja tanpa air mata.

Sebuah bantal dicobanya bak pelampiasan. Membenturkan tangan berkali-kali pada benda tersebut. Terisak tanpa hujan yang berlabuh.

''Ibu akan cerai dengan bapak.''

''Ibu akan cerai dengan bapak.''

''Ibu akan cerai dengan bapak.''

Satu kalimat itu kembali bertandang mengusik isi kepalanya. Menggantikan posisi rajutan kalimat penggugah hati milik Althaf. Kalimat yang dirasa ringan diujarkan sang Ibu tapi berat didengarkan oleh Hasna. Sore tadi, hati Gadis itu telah luluh menemui Ibu dan Bapaknya kembali. Berniat benar-benar akan menetap di sana lagi. Namun nahas, kabar yang hampir membunuh sebagian kewarasannya datang. Membunuh keinginan. Mengundang kepahitan untuk kesekian kalinya.

Ya Allah aku lelah...

Nama Yang Maha Esa itu sehelai dua helai di ingatan sudah bersinggah di hati Hasna.

***

Bersambuunng

Gak ada 1000 kata ini. Maaf kalo gak ngefeel. Semoga bermanfaat bagi kesejukan hati. Terimakasih, wassalamualaikum.

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang