Bab 26: Cinta?

1.5K 100 0
                                    

Bismillah
Assalamualaikum
Selamat membaca

Kaki biarlah melangkah

Tubuh biarlah lemah

Mata biarlah mencari

Di tepi

Tiada izin tak akan menepi

Hati-hati

Bertabuh

Hati menyapu tanya

Akan mencari jawaban

***

''Jika cinta sebuah rahasia, maka biarkan aku mengumbarnya dalam doa.''

***

Sekiranya ratusan insan telah menjadi pemilik sementara kursi dalam gedung besar itu. Di antaranya satu-dua masih ada yang menyisakan celah kosong tanpa punggung-punggung yang bersandar. Pada sebuah kursi barisan nomor dua dari depan seorang lelaki tengah mengutak-atik ponselnya. Terabaikanlah blocknote yang tergantung di lehernya, serta pena yang terselip di antara saku bajunya. Tas hitam yang biasa mengganduli punggung itu dibiarkan saja tertahan di kolong kursi.

''Althaf kemana aja, sih? Lama banget perasaan. Salat duha apa bertapa dia ini.'' Kepalanya terputar jua ke kanan dan ke kiri. Barangkali sosok yang tengah dicari mulai hadir di depan mata. Namun tanda-tanda demikian itu belumlah tercium baunya. Belum tercipta jejaknya. Belum tampak siluetnya.

Suara microfon diketuk-ketuk tengah menjadi bahan percobaan. Barangkali benda tersebut tak berfungsi. Seorang wanita berbaju biru di atas panggung yang melakukannya. Kian berdebar-debarlah hati Alif. Kursi sebelah kirinya masih ditanggalkan penghuninya. Berulang kali pula ia bergerak dalam usaha mengirim pesan whatsapp pada Althaf. Doanya terlambung-lambung berharap Althaf segera kembali karena acara siap dimulai.

''Maaf, Lif.''

Yang merasa namanya dipanggil itu langsung saja menoleh. Berdecak di sela-sela sibuknya mempersiapkan kamera.

''Maaf, Lif.''

''Iya.''

Althaf pun diam saja. Ia tak ambil isi pikiran berbelit tak keruan. Biarlah Alif bersikap demikian untuk sesaat saja. Nanti juga akan kembali lagi seperti biasa.

''Selamat pagi dan selamat datang kepada peserta yang telah hadir dalam acara Celah Bicara, yang pada kesempatan kali ini mengangkat judul 'Pemimpin Pasti Pernah Dipimpin'. ''

Jawab salam berkawankan gemuruh tepuk tangan menggema seantero ruangan. Dengan senyum manisnya wanita yang bertugas sebagai moderator debat itu menyapa. Kamera-kamera yang berasal dari stasiun televisi daerah, serta majalah-majalah lokal telah berhamburan membidik. Tak cukup satu atau dua kali jepretan.

Alif telah mendirikan kamera di tepi panggung. Sementara Althaf turun langsung mendekat ke arah panggung guna mencari gambar terbaik untuk memfoto. Dua orang calon debat telah hadir mengisi dua kursi yang berjarak karena meja bundar besar. Memang, tiap bulan acara seperti ini kerap dilakukan. Yang diangkat biasanya isu-isu yang tengah menjadi konsumsi banyak lidah dan media sosial.

''Baiklah di sisi kanan saya sudah ada Diana Rahmawati mahasiswa politik yang tengah mengenyam pendidikan S2.  Selamat datang Diana.''

Wanita bermata bulat itu tersenyum. Seumpama menerima sambutan manis dari Vina, sang moderator.

''Dan di sisi kiri saya telah ada Amanda Putriska mahasiswa politik yang pernah meraih gelar politikus mahasiswa terbaik di kampusnya. Selamat datang Amanda.''

Gadis itu tersenyum ramah, seraya lidahnya berkata,''Terimakasih untuk sambutannya.''

Pelan-pelan kalimat hangat nan manis dijadikanlah pembuka dalam acara. Bermula biodata serta bincang-bincang hobi di antara dua peserta debat itu. Detik-detik terlampau telah mengutarakan jarumnya tak lagi berpijak di awal. Puluhan detik terlewati. Puluhan menit dilalui. Dan tibalah dimana sebuah klimaks perbincangan yang bermula kalimat, ''Untuk saat ini tanah air kita sedang disibukkan soal pemimpin. Setujukah kalian jika seorang pemimpin itu pernah dipimpin maka harus mengerti kebutuhan anggota yang dipimpinnya?''

Sebuah kalimat yang terjulir indah bak ketukan-ketukan nada yang menenangkan. Kala itu ruangan terbekap sunyi. Segala pasang telinga tiada satupun yang coba beralih di antara suara lain. Tiada satu pun daging tak bertulang tuk sekadar sibuk sendiri.

''Masyarakat atau anggota itu memilih salah seorang pemimpin karena adanya harapan mampu memenuhi harapan mereka bukan malah membunuhnya. Itu kalimat terakhir dari saya untuk memperkuat argumen tadi. Sekian terimakasih.''

Satu kalimat yang terbangun layaknya tiang kokoh hasil jerih payah tangannya meramu batu bata dan semen yang telah usai. Akhirnya mengering dan kuat. Lantas ia duduk kembali menikmati alangkah baiknya jawaban tadi yang mendapat respons luarbiasa. Vina mengalihkan kembali pada Diana untuk mempertegas argumennya yang tidak setuju.

''Penjelasan saya tampaknya sudah lengkap. Bahwa ada pemimpin yang pernah dipimpin, tapi ketika ia menjadi pemimpin tidak WAJIB untuk mengerti apa yang seluruh anggotanya butuhkan. Dalam perbincangan seperti ini politik memang diutamakan, tetapi selayaknya manusia kita semua beda kepala dan beda keinginan, dan disini pula dibutuhkan ilmu sosiologi. Tidak mungkin satu kepala mampu memberikan apa yang diinginkan ribuan kepala lainnya yang berbeda. Berdasarkan pandangan saya dari sisi sosiologi meski ilmu saya tentang ini masih sedikit, bahwa adanya konflik sosial diakibatkan atas perbedaan tujuan, adanya hal yang memicu konflik, tidak adanya toleransi dalam pandangan.'' Sejenak Diana menghela napas.

''Maka disinilah tugas pemimpin untuk menyatupadukan keinginan anggotanya, bukan memberikan satu persatu keinginan anggotanya. Pemimpin yang akan menciptakan satu tujuan yang sama. Bukan mengikuti ribuan tujuan yang berbeda.''

Kalimatnya seumpama melambung indah dalam rangkulan bunga-bunga mawar yang harum baunya. Tersambut gemuruh hasil dari berpadunya dua telapak tangan.

''Keren!''

''Iya, memang. Tapi seharusnya ditambahkan sedikit lagi, bahwa pemimpin bukan hanya memenuhi kebutuhan dan menciptakan satu tujuan bagi anggotanya. Tapi juga meluruskan perilaku melenceng anggotanya.''

''Iya, besok kau lah yang ikut acara debat ini, Al.'' Alif menepuk-nepuk pundaknya pelan. Lihatlah, betapa asap yang sempat mengepul di hati Alif tak lagi terlihat. Tercium baunya pun tidak. Sementara Akthaf hanya mengaminkan apa yang telah terlantun dari bibir ALif barusan.

***

Satu dua helai mie telah terlilit garpu di tangannya. Dibiarkan saja beberapa helai, meski urung jua menyelami lambungnya. Kawan di hadapannya itu jengah jua.

''Makan yang benar. Akhir-akhir ini kamu sering melamun, Al. Kenapa? Ada masalah? Tumben gak cerita.''

Dunia pikirannya yang sempat melalang buana entah ke negeri mana itu kembali disadarkan. Tertarik-tarik jualah sudut bibirnya. Senyum yang terlalu banya dibersi spasi. Tak langsung menyerupai lengkungan indah. Melainkan saja malah mencuatkan tanya gundah bagi Alif. Althaf diam saja. Mulutnya pura-pura menyuapkan dan mengunyah makanan. Walau jujur saja, ia tak betah dalam keadaan seperti ini. Hatinya seperti telah dicuri. Pikirannya telah dirampas. Ah gila! Doa teruntuk wanita itu telah meraja-raja seorang diri sampai lupa jua ingatannya pada diri sendiri. Entah apa ini rasa cinta?

***

Bersambung
Terimakasih. Wassalamualaikum.

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang