Bab 19: Kepergianmu

1.6K 120 2
                                    

Bismillah...
Assalamualaikum
Selamat membaca😊

Sekali saja

Desir angin merindu merdu

Bukan gaduhnya

Lain rancaunya

Kaki tak terjulur lagi mundur

Kali kedua

Bersedekap dada

***


Di antara yang pergi. Ada yang harus mengikhlaskan.

***

Butiran-butiran lembut yang bersedekap ria di atas lantai itu kian terpojok helaian-helaian ijuk hitam yang menghantamnya. Di sela-sela kursi, di kolong meja disapu bersihlah meski tak menjamin seratus persen kebersihannya. Jemari itu bukan tak kenal benda bernama sapu. Dahulu ia amat bersahabat dengannya. Hanya saja setelah perubahan-perubahan itu terjadi justru ditinggalkanlah.

Kain yang menciri khaskan muslimahlah jiwanya itu sesekali ditarik ke belakang. Kerap terulur-ulur maju dan kerisihan masih mampu dirasa. Ah, semoga Illahi Rabbi kokohkan iman dan istiqamahkan kalbu yang telah memijaki jalan barunya itu. Dari ujung kaki hingga kepalanya pakaian itu milik Nuha. Pas. Tidak kelonggaran ataupun kekecilan.

''Hasna, aku sama Ibu ke warung duluan ya? Nanti kamu nyusul aja. Gak masalah kan?''

Nuha muncul dari tirai pintu arah dapur. Sedikit menyembulkan kepalanya.

''Iya gak apa-apa. Nanti aku bisa nyusul sendiria ke sana.''

Nuha kembali ke dapur. Lantas keluar bersama Lastri dengan membawa beberapa kresek bahan yang siap diolah di warung. Pergi dengan motor matic keluaran lama. Sementara Hasna masih terus menyisir setiap sudut ruangan kecil itu. Tak sampai di ujung debu-debu tersebut bertemu tanah, tersingkap dari atas lantai, Hasna melanjutkan bersih-bersihnya dengan mengepel. Kain basah itu terus diselorohkannya sampai merasa benar-benar bersih. Sesekali dicelupkan ke dalam ember berisi air yang telah berbaur dengan pembersih lantai.

Sesuatu sempat mengusik pendengaran Hasna. Dari dalam kamar. Namun, dianggaplah mungkin ia salah dengar. Berkali-kali suara itu terus berkicau meski kecil. Kini Hasna tersadar, bahwa ponselnya yang berbunyi. Bersegeralah ia menyandarkan pel-pelannya di dinding. Mengambil HP yang tertimbun bantal di atas kasur.

''Pak Japri?'' Tanyanya pada diri sendiri, setelah sesaat melihat nama di layar ponsel. Terakhir kali Japri menghubungi Hasna ialah tentang keadaan rumah yang sepu setelah niat kedua orang tuanya yang akan bercerai. Kini takut-takut Hasna menerima panggilannya. ENtah kabar apa lagi yang akan diterima. Hati kecilnya berkata pastilah bukan kabar baik. Perginya Hasna dari rumah tidak menimbulkan dampak positif sedikitpun. Harapan kedua orang tuanya mengalah karena kasihan kepadanya misal. Tetapi dua hati orang itu nyatanya lebih keras daripada batu.

''Iya, halo assalamualaikum, Pak Japri.''

''Waalaikumsalam. Non Hasna... ''

''Iya, Pak. Ada apa?''

''Non... ''

''Kenapa, Pak? Kabar buruk lagi? Tolong jangan katakan, Pak. Saya udah gak mau dengar kabar apapun lagi. Kecuali kabar Ibu dan Bapak yang akan kembali bersatu.''

''Non Hasna, tolong dengarkan saya baik-baik dulu ya? Tolong Non.''

Entah ada apa gerangan situasi sedikit lebih mendebarkan bagi Hasna. Ritme suara berupa isakan dari Pak Japri menyuatkan simbol-simbol ketakutan. Akalnya menolak untuk menerima kabar itu. Ingin bersegera memutuskan sambungan telepon. Namun hatinya bersikeras mengatakan 'jangan' bahwa ada sesuatu yang amatlah penting untuk ia ketahui.

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang