Bab 31: Kenyataan?

1.3K 97 2
                                    

Bismillah
Assalamualaikum
Selamat membaca

Sembunyinya abu

Tertiup pawana jua

Lalang buana lah

Udara-udara bersentuhnya

Sesaklah

Napas dicari-cari

***

Sebuah pertanda, di antara hati yang sempat gundah-gulana itu tersembunyi, bertandang kembali. Bersama riak air yang siap meracuni diri.

***

Jari telunjuknya bergerak-gerak mengarahkan sesuatu. Sebuah baju gamis berwarna maroon di pojok ruangan jadi sasarannya.

''Yang itu coba saya lihat mba.''

Dibawalah bersama patungnya oleh Nuha ke hadapan pelanggannya. Dipegang-pegang jualah kainnya hingga terangguk-angguk kepalanya itu. Menyiratkan rasa puas dan mulai adanya ketertarikan pada baju tersebut.

''Saya coba dulu ya, mba.''

''Oh iya, silakan mba. Di sana ruang gantinya.'' Kelima jarinya menengadah menunjukan letak ruang ganti.

Sebentar lagi jam kerja gadis itu akan habis. Bersiaplah dirinya mengemasi ponsel dan Al-Quran dia atas meja ke dalam tas. Seraya menunggu pelanggan tadi keluar bersama keputusannya tuk memiliki baju tersebut atau mungkin urung hatinya dibuat berbunga-bunga hingga kembali melepas pandangannya menilik pakaian lain.

''Saya mau yang ini ya mba.''

''Baik, silakan untuk pembayaran dilakukan di kasir.''

Beberapa pelayan butik untuk waktu malam telah datang. Nuha sejenak meneguk air dalam botol minum yang dibawanya dari rumah. Lantas izin pamit kepada beberapa pelayan.

Di tepi jalanlah ia berdiri. Kerudungnya melambai-lambai tertiup angin. Sebuah angkot diberhentikannya. Lantas berpijaklah kini sepasang kaki itu di dalam angkot. Terus menyusuri jalanan besar. Melewati taman kota yang ramai oleh muda-mudi yang membiarkan diri bercakap-cakap atau sekadar menikmati makanan ringan di pinggiran taman. Hingga berhenti di sebuah jalan besar yang menyalurkan gang kecil di dalamnya. Diserahkan jua uang senilai lima belas ribu pada sopir. Melangkahlah di tepi jalan yang begitu sempit. Tidak jauh, hanya berkisar sepuluh meter jaraknya dengan rumah.

Berderit jua lah pintu tua itu. Beberapa lubang telah tercetak alami di sana. Seolah berbicara telah terlampau lama ia digunakan, hingga perlahan beberapa bagiannya kini telah rapuh. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tentu Lastri belum datang. Gadis itu sejenak beristirahat usai mengganti bajunya dengan baju muslim rumahan. Membasuh muka yang dirasa berat sekali akibat lelah dan kotoran udara luar yang menyambangi. Seolah lelah yang mengganduli otot-otot tubuhnya tak dihiraukan, ia lanjut beraktifitas. Membereskan rumah dan membersihkan bagian-bagian yang perlu dibersihkan.

''Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya selesai juga beres-beres rumah.'' Tubuhnya dibiarkan bertumpu pada kursi. Air mukanya tampak lelah. Diliriklah jam dinding yang tergantung di dekat figura foto keluarga. Hatinya berkata-kata waktu cukup untuk sejenak beristirahat dan membersihkan diri, sebelum menyusul Lastri di warungnya.

Jemarinya bergerak-gerak di atas ponsel. Sebuah senyum tersungging saat di urutan pertama dalam instastory-nya adalah akun Hasna. Pun dengan postingan awal. Gadis itu memilih untuk sejenak melirik apa yang Hasna posting daripada yang dijadikannya story. Sebuah foto dengan latar belakang monas yang menjulang tinggi, serta tiga orang yang saling merangkul. Hasna diapit di tengah-tengah Ibu dan Bapaknya. Ibu dan bapaknya kah ini? Tanya yang diliputi ketidakmungkinan berontak dalam hati Nuha. Ada sesuatu seperti dirasa menusuk-nusuk dada dan pikirannya. Tergeleng-geleng lemahlah kepalanya. Dalam sepersekian detik air terjun membasuh. Seakan ada luka yang tertoreh dari foto itu. Tidak pernah tahu wajah Bapak dan Ibu Hasna, sekalinya tahu tampak menumpahkan racun serta bau-bau yang siap membunuh sistem kerja jantungnya.

''Tidak mungkin... '' lirihnya hampir tak terdengar siapa saja. Kelima jemari kanannya mengepal memukul-mukul tangan kursi.

***

D

i antara para pelanggan yang telah menikmati makanan yang LAstri buat, kini tangannya tengah membersihkan meja dengan lap. Di antaranya ada yang bertamu berupa tanya dalam kepala. Tersembul-sembul jualah, hingga berulang kali sepasang mata yang mulai dihiasi garis keriput itu melihat ke arah jalanan. Barangkali yang dicarinya telah datang. Namun jawabannya selalu nihil. Sudah hampir jam enam tetapi anak gadisnya belum datang jua. Bukanlah jadi hal biasa seperti ini. Jikalau datang terlambat, pastilah sebuah SMS masuk ke dalam ponsel tuanya. Udara-udara yang menari seperti membawa kabar buruk baginya. Menyusupkan sesuatu dalam hati. Ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Lastri berinisiatif untuk pulang menggunakan ojek setelah semua pelanggan saat ini pergi.

***

''Astaghfirullah, Nuha. Ada apa, sayang? Kamu kenapa?''

Tiba di rumah, tepat saat azan maghrib bersenandung dari pengeras suara masjid dan mushola dari segala penjuru kota. Saat itu pula, justru Lastri mendapati Nuha yang terbalut tangis di wajahnya. Tubuhnya mendekap sebuah foto yang telah terbingkai. ENtah foto apa.

''Nuha, ada apa? Katakan pada Ibu.'' Ditariklah tubuh Nuha yang bergertar ke dalam tubuh Lastri. Diusap-usapnya puncak kepala Nuha. Namun Nuha masih tak mau menjawab. Tangis tak bersuaranya kian mencuatkan tanya bagi Lastri. Setitik-titik embun pun perlahan datang maghrib ini. Di antara dua pasang kelopak mata mereka.

''Ibu, Nuha-''

''Tenangkan hatimu dulu. Sudah azan maghrib. Kita salat dulu, dan ceritakan pada Ibu apa yang sampai membuatmu seperti ini.''

Tertatih-tatih jualah tubuh itu dalam rangkulan Lastri untuk mengambil air wudhu. Embunnya sejenak terseka. Datang bukan di kala pagi, melainkan saat senja pergi.

***

Bersambuung
Tolong beri komentar tentang gaya tulisanku. Please. Entah kenapa aku merasa bosan aja dengan kalimat-kalumat semua ini.
Semoga yang vote dan koment selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin.
Terimakasih. Wassakamualaikum.

Ajari Aku Bermuhasabah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang