Ardi melirik jam dinding, sudah pukul 7 pagi yang artinya jam 10 malam waktu Jakarta. Dia gusar, sampai saat ini belum ada kabar dari Sita padahal 45 menit yang lalu Nimo mengirim pesan kalau mereka akan jalan pulang.
Nimo bilang, baterai ponsel Sita habis, nanti baru mau diisi selama perjalanan.
Kalau ada yang berpikir Ardi cemburu akan Nimo, hilangkan pikiran itu! Satu-satunya pria yang dia percaya dan bisa dia biarkan ada di dekat Sita hanya Nimo.
Dia hanya kesal karena Sita tak memberi kabar kalau dia akan pergi sampai malam. Padahal biasanya jam 7 sudah anteng sampai di rumah kecuali kalau dia harus lembur.
Kan susah menjaga pasangan kalau jaraknya terpisah ribuan kilometer!
Sudah lama dia ingin membawa Sita ke California untuk tinggal bersamanya, tentu saja setelah melangsungkan ikatan resmi yang terdaftar oleh negara. Namun sayang Sita menolak dengan alasan yang menurut dia konyol luar biasa tapi sangat penting bagi Sita.
Jadi yang bisa dia lakukan hanya mengalah, menunggu sampai Sita siap.
Sambil meminum secangkir kopi, Ardi mengingat-ingat percakapannya dengan Sita hampir satu tahun yang lalu.
"What are you doing?" tanya Ardi penasaran dengan sikap kekasihnya yang dari Ardi datang bertamu, sibuk mencorat-coret book note besar padahal mereka sedang menonton acara favorit Sita, I Can See Your Voice.
"Ngitung!" jawab Sita singkat.
Ardi mengintip sekilas buku catatan Sita dan melihat rincian pengeluaran bulanan. Pantas saja dari tadi Sita tak lepas memperhatikan aplikasi kalkulator dari ponselnya.
"Papi Al kurang ngasih gaji ya?" ledek Ardi.
Sita tertawa, mencubit lengan Ardi. "Aku baru naik gaji dong! Ntar kamu kutraktir cilok deh.Tunggu abangnya lewat ya... sore biasanya baru nongol."
"Bakso malang aja gimana?" tawar Ardi.
"Oh, kalau itu bentar lagi lewat. Oke deh! Tapi bener ga mau cilok?" jawab Sita dengan mimik wajah lucu sambil menaik-naikkan alisnya. Kalau sudah begitu bagaimana bisa Ardi tidak tertawa.
Gemas, dia cubit pipi Sita. "Ini kayaknya kamu yang ngidam cilok. Aku ikut kamu aja deh. Terserah, Sit... terserah!"
Sita cemberut. "Ardi, ahhhhh, sakit!!!" keluhnya sambil mengusap-usap pipi.
"Maaf... maaf," balas Ardi, mengusap-usap pipi Sita.
Tersenyum lebar, Sita memperbaiki posisi duduk agar lebih dekat dan bersandar di bahu Ardi walau masih saja membawa-bawa buku catatannya.
"Kamu tuh ngitungin apa sih?"
"Ngitung bisa nabung berapa banyak. Kan baru tahun ini aku dapat bonus full. Gosipnya sih awal bulan bonus udah turun, yeayyyy!!!"
"Mau belanja apa memangnya?"
"Ga belanja kok, tahun ini aku mau mulai kuliah lagi. Kayaknya bonus bisa dipakai buat 2 semester," jelas Sita.
"Kenapa ga ngajuin beasiswa ke Star and co?" tanya Ardi yang keningnya mendadak berkerut.
"Malu ah... Ga enak," jawab Sita sambil lalu.
"Malu sama apaan sih?"
"Ntar dikiranya aku nepotisme, mentang-mentang jadi tunangan keponakan pak bos, langsung dapet banyak keistimewaan."
Ardi menyentil dahi Sita. "Jangan suka punya pikiran buruk! Memangnya kamu pernah buat pengumuman kalau kamu tunangan aku? Cincin aja ga suka dipakai kalau ga ketemu aku!"