The End

39K 2.9K 212
                                    

Hari ini Ardi ada rapat penting walau Sita sebetulnya tak tahu sepenting apa. Berbekal pengalaman pernah sebentar saja jadi sekretaris Ardi, dia paham kalau Ardi sampai pergi kerja pakai setelan jas lengkap ala-ala CEO, pasti bukan untuk menghadiri rapat biasa.

Sehari-hari biasanya Ardi pergi memakai batik atau kemeja standard walau jelas, harganya ga pernah standard. Ditambah dengan jas casual.

Tapi memang rata-rata petinggi di Ingram & co selalu memakai batik. Kalau menurut Nimo yang baru-baru ini masuk jajaran petinggi karena naik jabatan menjadi KaDiv alasan pakai batik bukan karena identik dengan cinta NKRI, tapi untuk menutupi perut buncit! Kemeja slim fit malah bikin perut one pack terpampang nyata.

Sita yang tak terima Ardi dituduh buncit langsung mengomel.

"Laki gue ga buncit, Mo!"

Nimo malah mengangkat tangan dan berkomat-kamit sendiri.

"Ngapain loe?" seru Sita sinis.

"Doa, semoga laki loe perutnya buncit. Biar gue berasa paling kece sendiri di kantor," jawab Nimo yang setelahnya langsung mengambil langkah seribu sebelum ditimpuk Sita pakai binder tebal.

Sita berjalan menghampiri Ardi yang sedang merapikan manset, ikut merapikan dasinya yang sebetulnya sudah simetris.

"Kebangetan cakep!" keluh Sita.

"Nanti banyak yang ngelirik!" lanjutnya bersungut-sungut. Hamil membuat Sita agak insecure, terutama karena badannya membengkak tak beraturan.

Ardi mencubit pipi Sita. "Jangan suka mikir yang aneh-aneh!"

"Ini kejahatan besar loh, keluar apartment ga sama aku tapi penampilannya gini. Dikoyak-koyak dikit coba jasnya, biar ga kelewat ganteng."

Ardi tertawa, "Sayang, Sit. Belinya di tempat langganan Papa."

"Kalau beli sama Papa ga ada yang murah ya?"

"Iya. Kalau kata Aska, gaji magang 6 bulan aja masih kurang."

Sita menggeleng-menggelengkan kepala. Pergi ke sudut kamar, mengambil tas kerja Ardi yang dia letakkan di sofa lalu menyerahkannya.

Ardi berterimakasih, mengecup kening Sita.

"Meeting-nya agak lama. Kemungkinan aku pulang malam. Kamu anteng-anteng ya...."

"Ada Mbak Suti kan. Kamu ga usah kebangetan khawatir sih."

"Kamu ga bisa diem soalnya. Gimana aku ga khawatir?" balas Ardi.

"Memang aku ngapain sih? Koprol kalau mau ke dapur?" gerutu Sita.

"Ya siapa tau kamu mendadak mau coba sikap lilin atau loncat harimau."

"Encok, Di. Ga ah, makasih. Lagipula hari ini mau nyiapin koper. Besok kan kita ngungsi di tempat Bunda sampai baby-nya lahir."

"Bawa seperlunya aja. Ga usah berat-berat. Pakaianku masih banyak di rumah Bunda."

"Iya, ga banyak yang aku siapin kok. Paling peralatan mandiku aja. Thanks to Papa AJ yang kelewat excited punya cucu, kita sampai ga perlu belanja peralatan bayi lagi. Semua udah disediain sama dia," ucap Sita yang sebetulnya agak dongkol karena Papa mertuanya merusak kesenangan dalam belanja perlengkapan bayi.

Sita bertekad, rumah barunya yang sedang direnovasi sebelum ditempati, harus dia dan Ardi yang belanja perabotannya.

Ya, akhirnya mereka mendapat rumah idaman yang hanya berjarak 10 menit dari rumah mertuanya. Ukuran dua setengah lantai, 4 kamar, belum termasuk 2 kamar asisten rumah tangga. Lengkap dengan kolam renang outdoor ukuran midi.

My Favorite Man!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang