"Ka, ga salah tuh pilihan filmnya? Katanya film drama? Kok malah drama perang model gitu sih?" tegur Sita, keki.Aska yang ditugaskan kakaknya untuk menemani Sita hari ini di RS selama Ardi masih bekerja tiba-tiba mengganti film seri dokter ganteng yang sedang Sita tonton dengan dalih dia bosan melihat drama dokter.
Aska yang berkonsentrasi menonton Saving Private Ryan hanya menoleh sedikit, "Biar tegar kalau nonton beginian. Laki itu kudu macho!"
"Situ laki! Sini kaga!"
"Ya siapa tau anaknya laki, dilatih bermental baja dari sekarang."
Sita melempar tutup gelas kertasnya ke kepala Aska.
"Pulang aja sana! Ga usah nemenin aku."
"Ga ah, ntar batal dapet uang saku."
"Disogok berapa sama Ardi?" tanya Sita penasaran.
Aska nyengir. "Kepo deh! Rahasia perusahaan Kak Sita. Ntar kalau kukasih tau tarifnya, Kak Sita ga cocok, ntar ribut lagi. 'Masa jaga aku cuma dihargai seharga tas ransel! Seharga berlian dong!'
Aku tak berminat jadi pemicu keretakan rumah tangga, Kak."
Kalau saja tangan Sita tak dibatasi dengan infus, dia berniat mencekik Aska saking kesalnya.
"Libur, Ka?" Sita berbasa-basi karena dia ngeri melihat film perang-perangan.
"Ga, cuma pulang cepet aja. Makanya aku dateng siang kan."
"Ga nge-date?"
"Ga sempet."
"Paling ga ada yang minat," ledek Sita.
"Sembarangan!!! Yang ngantri bawa-bawa spanduk, 'Aska forever love' itu banyak! Sayang aku ga minat. Belom ketemu yang tajir kebangetan. Nanti-nanti aja lah, kalau udah jadi dokter."
Sita tertawa terbahak-bahak. Menyesali kenapa punya adik ipar sedemikian narsis dan matrenya.
"Eh, Ka, mau tajir tuh mending jadi pengusaha kayak Papa, kenapa milih jalan sulit jadi dokter?"
Aska menggaruk-garuk kepalanya. "Jadi pengusaha atau nerusin usaha Papa kayaknya ribet. Tuh Kak Ardi aja sering stres. Papa rewel sih."
"Bukannya jadi dokter sama susahnya?"
"Jadi dokter itu kayak run in my blood. Pilihannya kan terbatas. Pengusaha, arsitek, peneliti, dokter. Aku pilih jadi dokter aja, gurunya banyak. Lagipula di keluarga Ardhani kalau ga dapet gelar doktor atau dokter kayaknya ga dianggap keluarga."
Sita memberi pandangan menyelidik. "Bukannya kamu ngikutin jejak Ayah? Makanya jadi dokter."
Aska menoleh, "Hah? Ngikutin Bunda, Om Jun sama Opa Ken sih lebih tepatnya. Aku ga kenal Ayah."
Kening Sita berkerut. "Kok ngomongnya gitu?"
"Logika aja Kak Sita. Ayah pergi saat aku umur satu tahun lebih sedikit. Aku ga punya memori sama sekali akan sosok dia. Beda sama Kak Ardi. Gimana mau ngikutin dia kalau aku ga kenal sama sekali?"
"Bukannya sering diceritain soal Ayah ya?" desak Sita.
"Sering. Aku tau rupanya gimana. Semua orang bilang, Ayah mirip aku walau kayaknya aku agak lebih ganteng dari beliau.
Aku punya videonya, email-emailnya juga ada walau ga sebanyak email yang diterima Kak Ardi ya. Wajar sih, he got limited time with me.
He's a good person. I'm aware of that. Tapi ya sosok ayah yang aku kenal ya Papa. And Papa is the coolest dad ever!