"Lapar?" bisik Ardi di telinga Sita.
"Lapar dan lututku udah kayak agar-agar, Di. Ini tamu kok ga ada berhentinya sih? Gigiku kering loh cengengesan terus." Sita balas berbisik.
Ardi tertawa. "Padahal senyum lebar juga udah cukup loh, Sit."
"Kalau cuma senyum, ga kelihatan aura kinclong bahagianya, Di...."
Tawa Ardi semakin kencang. "Minta antrian berhenti dulu deh. Kamu harus makan dulu, kalau laper kamu sering eror."
Ardi meminta waktu untuk istirahat sejenak, mereka berdua sudah berdiri di pelaminan sejak pukul 11.00 sampai 13.30. Belum beranjak sama sekali karena antrian masih mengular, isinya tentu saja jauh lebih banyak tamu Papa AJ daripada tamu Ardi dan Sita.
"Lepas selop, boleh gak sih? Kakiku sesak banget rasanya, biasa pakai Swallow kemana-mana ya begini nih jadinya," keluh Sita saat sudah menghabiskan separuh isi piringnya sementara Ardi sudah selesai makan.
"Nyeker juga ga masalah kok, Sit."
Ardi menarik bangku, meminta Sita meluruskan kakinya. Ragu-ragu Sita menaruh kakinya di atas bangku sementara Ardi segera melepaskan selop yang dikenakan Sita lalu mulai memijit telapak kakinya.
Wajah Sita memerah, walau mungkin tak begitu terlihat dibalik make up adatnya.
"Di, malu ih... masa kamu yang mijitin aku!" elak Sita.
"Yang kakinya hampir lecet, kamu, bukan aku," jawab Ardi, cuek.
"Ya tapi kannnnn...."
"Ga papa, ga ada yang merhatiin kok." ucap Ardi mengingat mereka makan di sudut ruang resepsi dan memang agak tersembunyi.
"Kaki kamu masih harus dipakai berdiri sampai jam 3 nanti. Jangan sampai lecet," lanjutnya lagi.
"Papa tamunya ga kira-kira," gumam Sita.
"Rekan kerja Bunda juga sama banyaknya kok," sambung Ardi.
"Ya iyalah! Yang punya RS mah beda!" sahut Sita.
Ardi tersenyum. "Seenggaknya orangtua kita sama-sama bahagia."
Sita menoleh ke arah pelaminan di mana orangtua mereka masih saja meladeni tamu-tamu yang hadir.
Bunda Grace dan Papa AJ tak henti mengumbar senyum, raut wajah bahagia juga tercetak nyata di wajah Papa dan juga Ibu Halwa.
Sita ingat saat sungkeman setelah mereka resmi menyandang status suami-istri. Pesan Bunda yang sangat membekas di hati.
"Sita, selama Ardi dalam asuhan Bunda, Bunda selalu memperlakukan Ardi dengan baik. Bunda yakin dia pasti akan melakukan hal yang serupa terhadapmu. Bunda selalu mengajari agar tidak menyakiti hati orang lain, terutama istrinya. Semoga saja nilai-nilai itu akan selalu tertanam di dirinya.
Mulai saat ini dan nanti, Sita adalah anak Bunda. Bunda akan selalu bersedia ada untuk kalian berdua saat kalian membutuhkan Bunda. Pesan Bunda hanya satu, Berusahalah untuk selalu bahagia."
Air mata Sita mengalir deras saat mendengar wejangan Bunda Grace. Dia memeluk Grace erat, tersedu-sedu di pangkuannya sama seperti Grace yang juga tak sanggup menahan tangis, mencium pipi Sita berkali-kali, membisikkan doa-doa tulus untuknya.
"Samperin Bunda lagi yuk, Di...." ucap Sita.
"Udah ga pegel?"
"Masih, tapi 1 jam lagi selesai kan? Bisa lah, paling udahannya gempor...."
"Oke, aku cuci tangan dulu."
Sita tertawa. "Maaf ya, Di.... Kakiku bauuuuu!!"
----------