Bab 44

2.9K 118 53
                                    

Kumohon.. jangan sampai terjadi sesuatu padanya.

Gue melangkahkan kaki dengan terburu-buru, mengabaikan tatapan setiap orang yang gue lewati begitu saja.

Dari kejauhan mata gue terus fokus pada satu titik, Sosok Andita yang berdiri didepan pintu Rawat inap Bunda Ana sembari meremas kedua tangannya

"F-Flo."

Andita langsung memeluk Erat ketika gue baru saja tiba Dihadapannya.

"Tenang, Nin. Semua pasti baik-baik saja." Ujar gue seraya mengelus punggung Andita.

Sekuat tenaga gue menahan tangis, Setidaknya gue bisa menguatkan Andita walaupun pada kenyataannya gue juga mengalami perasaan sedih yang amat besar.

"Sebenarnya Apa yang terjadi pada bunda Ana?"

"Tadi dia kejang-kejang, dokter tengah menangani kondisi Bunda, Flo, Apa sebaiknya kita menyetujui pencabutan alat ba—-"

"Please, jangan berkata seperti itu, gue juga nggak mau lihat bunda Ana menderita tapi gue lebih nggak sanggup jika bunda Ana pergi tanpa melihat usaha kita, maaf jika gue egois." Air mata gue membuncah keluar begitu saja tanpa henti.

"Tapi, Flo Ki—"

Tiba-tiba saja pintu kamar rawat itu terbuka, menampilkan Doktor yang menangani Bunda Ana.

"Bagaimana kondisi Ibu saya, Dok?" Andita Maju lebih dulu.

"Kondisi Ibu anda sudah stabil, Silahkan Jika anda ingin melihatnya."

Ada sedikit perasaan lega mendengar kalimat Doktor tadi, Setidaknya Tuhan memberikan kesempatan Gue untuk melihat Bunda Ana, Mungkin gue harus bersabar sedikit lebih lama untuk melihat Bunda Ana membuka matanya lagi.

"Terima kasih, Dok."

Andita bergegas membuka pintu, gue mengekor dibelakangnya.

Ruangan ini masih sama seperti pertama kali bunda Ana dirawat disini, Tak ada yang berubah sama sekali, Bahkan sosok wanita paruh baya yang terbaring diranjang tempat tidur pasien, masih setia berkelana dalam dunia mimpinya tanpa berniat membuka matanya.

"Bunda, Tadi Andita benar-benar takut jika bunda bakal pergi," Andita menangis tersedu-sedu disamping ibunya,"Bunda kapan Bangun? Flora datang ,Bun. Bukannya Bunda sangat senang bertemu Flora?" Lanjutnya.

Gue mendekat lalu menepuk bahu Andita.

"Flo, Bunda tidak pernah mau menjawabku, kenapa dia betah banget tidurnya?"

Pertanyaan itu seolah sarat akan keputusasaan.

Gue berdiri disamping Andita dan memeluknya, Andita melepaskan pelukan tatkala perasaannya sudah tenang.

Gue menarik kursi dan duduk disamping andita.

"Bun, Maafkan Flo karena baru bisa menjenguk sekarang," gue meraih tangan bunda Ana, lalu menciumnya," Flo dan Andita rindu bunda, Bunda tau? Sedikit lagi kami bisa menebus rumah bunda, Andai flora nggak tinggal dirumah Byan, pasti semuanya berjalan lancar, Flora bisa bebas bekerja, Bunda pasti belum tau Byan Khan? Banyak yang ingin kuceritakan pada bunda,  Bunda pasti sudah tertawa ceria andai saja—-" Gue mulai meracau dengan suara serak menahan tangis.

"Flo, Sudah. Berhenti menyalahkan dirimu, semuanya sudah berlalu."

Gue menoleh dan mengangguk. ingin rasanya menangis tapi gue tau jikalau menumpahkan kesedihan sekarang hanya akan membuat Bunda Ana sedih dalam mimpi panjangnya.

Gue tau bunda Ana pasti bisa mendengarkan semua ucapan kami. Maka dari itu, gue benar-bener tak ingin membuatnya merasakan kesedihan kami, tapi setiap melihat bunda Ana yang sudah seperti manusia tak bernyawa diatas Tempat tidur, rasanya gue benar-benar nggak sanggup menahan rasa sedih sekaligus sakit secara bersamaan.

Ms. Dj  Vs Mr. PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang