📌 Prolog 📌

14.7K 735 24
                                    


HAMPARAN padang savana membuatku berdecak gakum berulang-kali. Kuagungkan asma Allah, Dia yang telah melukis pemandangan menakjubkan ini dengan sangat sempurna. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, aku benar-benar berdiri di tempat ini. Taman Nasional Kruger, Afrika Selatan. Tempat yang dulu hanya bisa kulihat di televisi, youtube atau film-film layar lebar. Ya Allah, takdirmu begitu indah. Berulang-kali kuucapkan rasa syukur.

Panas, gersang, debu berkeliaran di mana-mana dan matahari mulai membakar kulit wajahku. Namun sedikitpun tak mengurangi semangatku untuk menjelajah tempat ini. Aku menoleh ke belakang, teman-teman rombonganku masih asyik berbincang sembari menikmati bekal. Mereka sedang duduk di bawah pohon besar yang seluruh daunnya hampir mengering.

Kumainkan jari-jemariku memotret ke segala arah. Tiba-tiba lensaku aku menangkap seekor jerapah sedang mendekati sebuah pohon besar, lalu beberapa ekor yang lain mengikutinya. Mereka memakan dedaunan pohon itu. segera kuabadikan dengan kameraku. Kuamati hasilnya. Menakjubkan! Seketika aku teringat saat melakukan perjalanan ke Flores enam bulan lalu, saat perayaan 17 Agustus. Anak-anak di Flores sedang lomba mengambil koin yang tertancap di sebuah semangka berukuran besar. Mereka saling berebut untuk mengumpulan koin sebanyak-banyaknya. Nah, para jerapah itu mirip mereka.

"Ini saatnya kamu berdoa, Haya."
Suara berat seseorang terdengar di atas kepalaku, di sebelah kanan. Aku segera menoleh lalu mendongak. Matthew sudah berdiri di sebelahku, mata birunya menatapku, membuat degup jantungku tiba-tiba berdentum. Segera kutepis segala hal yang dapat menganggu hatiku.

Matt adalah seorang pemuda asal Inggris. Ya, ia lebih suka dipanggil Matt. Kami mempunyai pekerjaan yang sama, menjadi seorang travel blogger. Objek kami pun sama, sejarah Islam dari berbagai dunia. Kami sudah menjelajah berberapa tempat di dunia ini bersama. Bahkan Matt pernah ikut aku pulang ke Indonesia saat pernikahan kakak laki-lakiku. Matt sempat kagum saat kuajak ke Masjid Istiqlal di Jakarta, katanya Masjid itu sangat megah dan indah. Aku dan Matt sudah saling mengenal sejak satu tahun yang lalu, saat kami sama-sama melakukan perjalanan ke Selandia Baru. Sejak saat itu kami berteman baik.

"Matahari sudah meninggi dan kamu belum sholat dhuhur. Kemungkinan kita akan sampai penginapan setelah matahari terbenam. Kamu nggak akan sempat sholat. Lebih baik kamu jamak saja dhuhur dan ashar."

"Baiklah Matt, terima kasih sudah mengingatkanku. Tapi apa yang lain bersedia menungguku berdoa?" tanyaku hati-hati. Mengingat di sini hanya aku yang wajib melaksanakan sholat.

"Jika mereka tidak bersedia, aku yang akan menunggumu."

"Hei, kamu bicara apa Matt? Teriak seorang pemuda bertubuh jangkung yang mendengar percakapanku dan Matt. Dia adalah Jesse, pemuda asal Jerman yang melakukan perjalanan wisata bersama kedua saudara kembarnya, Johanna dan Janne. Ya, mereka triplet.

"Tentu kami akan menunggu Haya berdoa. Kami punya rasa toleransi, Matt," teriak Jesse sembari menaikkan alis kirinya. Matt hanya tersenyum kecil, Matt sadar, Jesse adalah orang yang mudah tersinggung.

"Kami nggak akan menghalangi seseorang untuk berdoa," kata Emma, gadis tomboy asal Belanda yang ke mana-mana selalu membawa gitar. Ia bercita-cita menjadi musisi, ia punya channel Youtube yang sudah memiliki subscriber jutaan. Grup musik kesukaannya adalah All Time Low dan The Vamps. "Jujur, nenekku seorang muslim dan aku suka saat melihat ia sedang berdoa, maksudku saat dia sholat," imbuh Emma.

"Silahkan berdoa sekarang Haya, kami akan menunggumu sembari istirahat," kata Lex, pemuda asala Amerika Serikat yang juga satu rombongan denganku.

Entah mengapa hawa sejuk tiba-tiba terasa menerpa wajahku, padahal saat itu cuaca sangat terik. Hatiku juga terasa sangat sejuk. Mereka bukan saudara seimanku, tapi mereka membuatku untuk tetap istiqomah menjalankan syari'at agamaku, dimanapun aku berada. Bahkan Johanna rela memberikan bekal air minumnya untuk kupergunakan wudhu.

Di belahan bumi Allah yang jauh dari negeri asalku, di negeri asing, Afrika Selatan, di tengah padang savana. Dengan selembar sajadah kecil yang selalu kuselipkan di tasku dan juga mukena berbahan parasit favourite-ku, aku melaksanakan kewajibanku bersujud pada Sang Maha Agung. Ke mana pun aku pergi, dua benda itu harus terselip di tasku, aku tak ingin Allah memurkaiku hanya karena aku tidak melaksanakan kewajibanku.

Di mana pun kita berada, di belahan bumi mana pun kita berpijak, bersujud mengagungkan nama-Nya adalah suatu kewajiban mutlak yang tak boleh ditinggalkan.

Setelah aku selesai sholat, tiba-tiba Matt sudah berdiri di sampingku.

"Bantu aku menemukan cahaya yang sebenarnya, Cahaya Salsabila!"

"Apa maksudmu, Matt?"

"Berdoalah pada Tuhanmu agar Dia cepat menurunkan hidayah padaku!"

"Hidayah itu dicari bukan ditunggu, Matt."

"Kalau begitu berdoalah agar hatiku mantab untuk menjadi sepertimu. Agar tak ada lagi jurang besar di antara kita."

Deg!

Jantungku kembali berdentum hebat. Untuk kesekian kalinya Matt menyebut 'jurang besar'. Akankah jurang itu benar-benar terhapus? Aku hanya bisa berdoa, agar Allah segera menyelamatkannya.

Gunungkidul, 28 Februari 2018

Di Bawah Langit Granada (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang