📌 Vermouth dan Syahadat 📌

3.5K 388 2
                                    

ENTAH mengapa malam ini aku sulit untuk tidur, kembali. Ya, aku sudah tidur saat pukul 11 malam tadi, lalu aku terbangun pada pukul 3 dini hari. Akhirnya aku memutuskan untuk sholat tahajud. Aku mulai merasa ada sedikit perubahan dalam diriku, khususnya dengan pola pikirku. Jika sebelumnya aku agak malas melakukan ibadah sunnah, sejak tinggal di Granada hampir 2 minggu ini aku lebih rajin melakukan ibadah sunnah, terutama sholat tahajud dan dhuha.

Usai sholat kuputuskan untuk pergi ke dapur menyeduh kopi saja. Kurasa itu adalah pilihan yang tepat. Biar saja sekalian aku tak tidur sampai pagi. Lagi pula aku tak memiliki minat untuk tidur. Setelah ini sebaiknya aku melanjutkan menulis artikel yang akan ku kirim ke salah satu majalah ternama di Indonesia. Mereka memintaku menulis perjalaanku di Slovakia 2 bulan lalu.

“Lo bangun juga, Ay?” Aku menoleh ke samping, ternyata Yoda sudah berdiri di sampingku, sepertinya ia juga ingin membuat sesuatu. Kulihat ia mengambil cangkir di rak.

“Iya. Kebangun lalu nggak bisa tidur lagi. Ya sudah sekalian saja aku bikin kopi. Aku nggak berminat tidur lagi sampai pagi.” Jawabku kemudian membawa kopiku yang sudah siap dinikmati ke meja bar yang terdapat di dapur. Tak lama kemudian Yoda menyusulku dan duduk di kursi samping kiriku.

“Gue nggak nyangka bakalan ketemu lo di sini, Ay.” Yoda menyeruput minumannya—yang entah apa, lebih mirip teh yang berwarna kemerah-merahan tapi aromanya sangat kuat—seperti ada bau Alkoholnya.

“Itu ... teh ya?” tanyaku ragu.

”Bukan ini Vermouth. Aku dapat oleh-oleh ini dari temanku yang baru saja pulang liputan dari Italia.” Yoda menenggak minuman itu sampai habis, kemudian ia berjalan ke pantry, mengambil sebuah botol berwarna hijau. Yoda menuangkan cairan dari dalam botol itu ke dalam cangkirnya.

“Kamu minum alkohol, Da?” aku menatap Yoda heran. Dia masih muslim kan? Apa ia sudah terpengaruh dengan gaya hidup orang-orang Eropa. Seketika aku mulai berburuk sangka pad Yoda, sungguh berbanding terbalik dengan kehidupan Yoda saat kecil dulu yang tergolong lumayan religius, apalagi neneknya seorang hajah.

“Hello, ini di Eropa, Ay. Minum Alkohol sudah bukan hal yang aneh lagi, kan?” Yoda menaikkan kedua alisnya—menatapku.

“Tapi, kan ... itu haram dan nggak baik buat kesehatan.”

“Ay, Ay.” Yoda tergekak pelan. “Jujur ya, sholat aja gue nggak pernah. Hanya setahun 2 kali saat lebaran. Gue sendiri nggak tahu Allah masih terima gue jadi hamba-Nya apa nggak.”

“Dan kamu seperti terlihat bangga.” Aku menatap Yoda tajam, tampak guratan halus di keningnya. “Kamu bekerja di majalah Islam di negeri ini kan, Da? Lalu kenapa kamu ...?”

“Pekerjaan gue ini nggak ada hubungannya dengan iman gue. Gue hanya bekerja untuk bertahan hidup, Ay.”

“Kalau begitu seharusnya kamu memikirkan kesehatanmu, Da. Alkohol kan nggak baik buat kesehatan.”

“Ay, dengerin gue ya! Vermouth itu menyehatkan kok.” Yoda menoleh padaku lalu menatapku intens. Aku merasa tak nyaman, karena sebelumnya aku tak pernah sedekat itu dengan seorang lelaki. Kecuali ... Matt—pada waktu itu. Waktu itu kami sedang berada di Sky Tower, Auckland—yang menjadi rangkaian tour kami di New Zealand. Aku masih ingat, saat itu tiba-tiba Matt mendekati wajahku, aku kira ia akan berbuat sesuatu padaku. Ternyata ia hanya berniat mengambil bulu mataku yang jatuh tepat di bawah kelopak mataku. Oh, Matt. Aku jadi ingat dia lagi.

“Ay ...”

“Mmm ... Oh, iya Matt. Apa tadi?”

“Matt. Siapa Matt? Gue Yoda. Hayo siapa Matt itu?”

“A ... Ma-maaf iya maksudku ... Yoda.” Aku mengutuki diriku sendiri, bisa-bisanya salah menyebut nama.

“Jangan-jangan Matt itu cowok bule yang lo temui saat keliling dunia. Dari negara mana asalnya si Matt itu? Pacar lo ya, Ay?” Yoda mulai mengintrogasiku. Mulut merconnya mulai tak bisa berhenti. Ya, sejak kecil Yoda memang terkenal bawel.

Di Bawah Langit Granada (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang