📌 You Died to Save Lives 📌

3.7K 390 10
                                    

HARI ini lagi-lagi aku harus menunda rencana untuk mengunjungi Istana Alhambra, lantaran aku harus menunggu Javier menjemput tamu dari Barcelona yang kabarnya akan menyewa satu kamar di rumah ini. Well, aku harus bersabar. Javier bilang, tamu itu juga akan berkunjung ke Istana Alhambra untuk bahan liputannya, karena kebetulan tamu tersebut adalah seorang wartawan.

Kuraih laptop di koperku, kubawa benda persegi panjang berwarna putih ini menuju ruang tamu rumah Keluarga Matamala. Sepertinya tempat itu cocok untuk melanjutkan menulis artikelku. Kebetulan rumah sedang sepi, Tuan Ramirez dan Nyonya Espe sedang berada di Sevilla sejak kemarin, mereka sedang menghadiri wisuda putra bungsunya.

Sebelumnya, kuseduh teh Earl Grey yang kubawa dari Inggris, hadiah dari Mrs Luisa, pemilik flat yang kusewa saat aku di London beberawa waktu yang lau, teh itu sangat cocok sebagai teman menulis. Teh memang selalu membuatku relax. Cairan beraroma khas itu selalu mampu membuat pikiranku segar, lebih lancar menuangkan ide ke dalam tulisan.

"Aku juga sangat suka teh. Kau tahu sendiri kan, negaraku sangat terkenal dengan tradisi Afternoon Tea? Aku selalu menikmati teh saat sendiri ataupun bersama orang-orang terdekat. Saat aku senang ataupun sedih. Teh selalu mampu membuatku segar kembali. Dan, teh kesukaanku adalah Earl Grey. Kurasa Earl Grey adalah teh ternikmat yang pernah kurasakan, perpaduan antara beberapa jenis teh Cina dengan rasa sitrus. Earl Grey mempunyai manfaat yang luar biasa, diantaranya untuk mencegah kanker dan penyakit jantung. Berbagai penelitian pada tahun 2001 menemukan bahwa dalam Earl Grey terkandung antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari efek radikal bebas pada kulit maupun organ dalam tubuh. Dan juga mengandung fluoride yang dapat membantu menjaga kesehatan gigi."

Itu adalah penjelasan Matt tentang kegemarannya minum teh dan teh kesukaannya padaku saat itu. Saat kami sedang berada di Indonesia, usai menghadiri syukuran pernikahan kakak laki-lakiku. Saat itu kami sedang menikmati jamuan teh yang disediakan keluarga kami untuk para tamu yang datang, termasuk Matt.

Saat menyeruput teh ini, aku kembali teringat Matt. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Mengapa setiap peristiwa yang kualami selalu membuatku teringat pada Matt? Padahal sudah hampir lebih dari 3 tahun kami tak saling berkomunikasi. Seharusnya aku bisa tak peduli padanya, toh Matt hanya orang baru dalam hidupku. Hubungan kami hanya sesama travel blogger yang akhirnya berteman. Namun entah mengapa, di dalam hatiku, ada kesan begitu mendalam akan sosok Matt. Dan kini, wajah Javier membuatku lebih sulit melupakan Matt. Wajah mereka sangatlah mirip.

Tiba-tiba, terpikir dalam benakku untuk mencari informasi tentang Matt di dunia maya. Aku mulai mencarinya di Facebook, Twitter dan juga Instagram. Namun sial, aku tak menemukannya. Sepertinya akunku tidak diblokir olehnya, tapi memang Matt sudah menon-aktifkan semua akun sosial medianya. Karena aku sudah mencoba membuat akun baru tapi tak kutemukan satupun akun milik Matt. Aku juga sudah mencoba mengiriminya pesan melalui email, tapi puluhan email dariku sejak beberapa bulan yang lalu sama sekali tak pernah dibalas olehnya.

Lalu terlintas dalam pikiranku untuk mengecek kembali blog milik Matt, walau sejak 3 tahun lalu Matt tak lagi menulis di blognya. Aku hanya ingin membaca kembali tulisan-tulisannya.

matthewworld.blogspot.com

Terakhir kali, 3 tahun lalu, saat ia sudah sampai di London, Matt memposting sebuah puisi di blognya.

Mengapa hujan lebih sejuk dari salju?
Mengapa salju lebih dingin dari hujan?
Keduanya tak sama
Mereka memiliki banyak perbedaan
Salju putih, hujan bening
Salju kristal, hujan cair
Salju membeku, hujan menyejukkan
Keduanya hanya memiliki satu kesamaan
Yaitu tak panas
Sama halnya perasaan dalam hati ini
Kau dan aku, kita berbeda dalam segala hal
Tapi kuyakin, kau dan aku punya rasa yang sama
Yaitu cinta, wahai gadis penyejuk hati

London, 25 Desember 2014

Entah mengapa jantungku berdesir saat membaca puisi itu. Lalu, aku mulai iseng membaca kolom komentar, sudah ada ratusan komentar untuk puisi itu. Maklum, blog milik Matt memiliki banyak pengikut. Matt adalah travel blogger yang sudah terkenal, bahkan ia sering diundang di acara telivisi di berbagai dunia. Semua komentar berisi pujian untuk puisi Matt yang terlihat sangat romantis, kebanyakan komentar berasal dari pada gadis penggemar Matt.

Deborah Coleman You're so sweet Matt...

Micheal Hackey Love this poem.

Anastasia Beautiful poem.

Laura Smith I'm melting when i read your poem...

Semua komentar berisi pujian, tak ada satupun komentar buruk. Hingga ada beberapa komentar, yang entahlah, membuat dadaku terasa memanas. Komentar-komentar nakal, yang entah mengapa, membuatku ingin membanting laptopku.

Marine van Nichole Will you marry me Matthew Evans?

Padahal itu hanya sebuah komentar, toh Matt tak meresponnya sama sekali. Namun bisa membuat hatiku memanas. Entahlah, apa yang sedang terjadi padaku.

Hampir 40 menita aku membaca ratusa komentar itu. hingga ada sebuah komentar yang membuatku serasa tersambar petir, lalu tubuhku menghitam, melebur menjadi abu. Ya Allah, benarkah ini? Atau aku hanya salah membaca? Kuulangi membaca komentar itu hingga 10 kali, kuhitung. Namun tulisannya tak berubah.

Sebastian Reace in peace, Matt! We love you.

TIDAK. Sepertinya orang itu hanya salah tulis. Kubaca komentar-komentar setelahnya. Namun, semua komentar menuliskan hal yang sama. Ya Allah, benarkah ini?

Joe Mcvey May you rest in heaven!

Ebony World You have noble heart. You died to save lives.

YOU DIED TO SAVE LIVES

Sederet kata itu yang kini memenuhi kepalaku. Matt meninggal dunia untuk menyelamatkan nyawa orang? Kabar yang sangat mengejutkanku. Ya Allah, harus kucari informasi tentang hal ini melalui siapa? Apakah ini adalah informasi yang benar?

"Assalamu'alaikum."

Suara itu mengagetkanku. Kulihat di depan pintu ada 2 orang pemuda tengah berdiri. Satu diantaranya adalah Javier, dan yang satunya adalah seorang pemuda berwajah Indonesia dengan rambut gondrong hitam bergelombang, ia berkumis tebal. Javier dan pemuda itu sama-sama gondrong dan berkumis, hanya bedanya Javier berwajah Kaukasia dan pemuda itu berwajah Asia.

"Assalamu'alaikum!" teriak Javier lebih keras karena aku tak kunjung menjawab salam.

"Wa'alaikumsalam."

"Kenapa kau terlihat terkejut begitu, Haya?" tanya Javier yang berjalan mendekatiku. Pemuda itu mengekor di belakang sembari membenarkan ranselnya.

"A-a-aku ha-hanya kaget saja kau tiba-tiba datang," elakku. Padahal bukan itu penyebabnya. Wajah Javier lah penyebabnya, yang mebuatku lagi dan lagi teringat pada Matt. Jika Matt benar sudah meninggal, berarti Javier bukanlah Matt. Mungkin benar kata orang, bahwa di dunia ini ada 7 orang yang memiliki wajah sama, tak terkecuali Javier dan Matt.

"CAHAYA SALSABILA," teriak pemuda berwajah Indonesia itu, matanya membulat sempurna, bibirnya tersenyum begitu lebar. Ia memandangku dengan wajah terkejut. Bagaimana mungkin pemuda itu mengenalku? Mungkin ia salah satu pengikut akun sosial mediaku dengan kata lain ia fans-ku. Mungkin. Tapi, aku seperti mengenal wajah pemuda itu, seperti tak asing. Tapi siapa? Di mana aku pernah mengenalnya?

Gunungkidul, 06 April 2018

Di Bawah Langit Granada (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang