📌 Iman Tak Bisa Diukur 📌

3.8K 393 6
                                    

“Masih ingin berfoto atau berkeliling sekarang?” tanya Javier dengan nada datar. Aku melihat ketidaknyamanan masih bertahan di wajahnya. Yoda memang keterlaluan. Tapi, kurasa Javier juga berlebihan. Toh Yoda hanya bergurau saja. Mengapa akhir-akhir ini Javier lebih sensitif daripada perempuan yang sedang haid? Padahal sebelumnya ia ceria dan ramah. Ah, entahlah.

“Kurasa cukup. Mmm ... kita mulai berkeliling sekarang saja. Yuk!” aku pun mulai berjalan. Yoda dan Javier mengikutiku dari belakang.

“Generalife ini berasal dar...” Javier mulai menjelaskan tentang Generalife ini, tapi buru-buru aku memotongnya.

“Tunggu! Biar kurekam suaramu, Javier!” kemudian aku mengeluarkan ponselku, lalu kucari aplikasi perekam suara. “Nah, sekarang silahkan mulai menjelaskan tentang Generalife!” aku menyodorkan ponselku tepat di depan bibir Javier. Sementara Yoda, ia masih sibuk dengan kameranya, memotret ke segala penjuru. Ia lebih mirip fotografer daripada wartawan. Bahkan ia tak berniat mendengarkan penjelasan Javier.

“Kenapa harus direkam?” tanya Javier mengangkat alis kirinya.

“Supaya aku tidak lupa Javier. Perjalananku di Granada ini adalah perjalanan terpentingku dan mungkin akan menjadi perjalanan terakhirku berkeliling dunia,” jelasku, tiba-tiba rasa sedih menyelimuti hatiku.

“Maksudmu ... kamu akan berhenti jadi ... travel blogger?”

Exactly! Orangtuaku menyuruhku berhenti melakukan pekerjaan yang tidak aman bagi seorang muslimah ini. Ya ... mungkin aku akan mencari pekerjaan di negeriku saja yang aman untuk seorang muslimah. Menjadi guru kusrus bahasa Inggris mungkin.”

“Aku setuju dengan orangtuamu.” Javier tersenyum tipis. “Hei, rekaman di ponselmu masih menyala. Obrolan kita jadi terekam,” celetuk Javier lalu menatap layar ponselku.

“Oh iya. Aku juga lupa. Tunggu sebentar!” Aku memencet tombol X pada layar, lalu kupencet ikon bulat berwarna merah pada layar. “Sekarang mulailah menjelaskan padaku!”

Javier berdehem kecil. Tangan kanannya ia masukkan ke saku, ia menghela nafas pelan lalu menatapku. Ia pun tersenyum.

“Generalife itu berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘jannat al arif’ atau Taman Arsitektur. Taman ini dibangun pada abad ke-13 lalu didekorasi ulang oleh cucunya Muhammad II yaitu Sultan Abu al-Wahid Ismail. Taman ini digunakan untuk bersantai oleh para sultan-sultan kerajaan saat ingin beristirahat dari kesibukan pekerjaan di Istana. Generalife lalu ditanami buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan kolam air mancur, seperti sekarang yang kita lihat ini.” Javier kembali tersenyum, jantungku berdetak kencang. Selama 2 detik aku memandang senyumnya, aku seperti merasa Matt bersarang pada tubuh Javier. Namun segera kutepis, aku harus menerima kenyataan bahwa ia bukan Matthew Evans, tapi ia Javier Matamala.

“Memang sih Generalife ini tidak semegah Alhambra,” Javier mulai melanjutkan penjelasannya. Aku pun kembali fokus dan membuang Matt jauh-jauh dari pikiranku. “Tapi sangat indah, kan? Dari pintu masuk tadi saja kita sudah bisa lihat indahnya eksterior bangunan yang lebih mirip pedesaan. Dan taman dengan kolam air mancur panjang ini namanya Patio de la Acequia. Yang mana akan mengubungkan dua istana.” Telunjuk Javier menunjuk tepat di ujung kolam, terlihat sebuah pintu gerbang yang kuyakini di sana ada sebuah istana.

Tak bisa dipungkiri, pemandangan Taman Generalife ini sangat indah. Aku seperti sedang berada di negeri dongeng. Istana ini khas sekali dengan cerita dongeng putri dan pangeran.

“Apa kau ingin melihat kebun sayur dan buah di sini, Haya?” tanya Javier.

“Boleh,” jawabku antusias.

“Baiklah. Perkebunan itu letaknya di balik dinding tebal itu.” Javier menunjuk diding yang tebal, diyakini itu adalah sebuah dinding peninggalan abad pertengahan yang masih dapat dilihat hingga kini.

Di Bawah Langit Granada (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang