📌 Home Sweet Home 📌

3K 317 20
                                    

Jangan lupa vote ya!

Setelah menempuh penerbangan selama 17 jam, akhirnya tepat pukul 2 siang  kami sampai di bandara Soekarno-Hatta. Aku dan Javier segeram mencari taksi. Rasanya aku ingin segera sampai di rumah. Tapi sepertinya itu hanya isapan jempol semata. Bagaimana tidak, jarak Jakarta-Bogor bisa sampai setengah hari perjalanan. Membayangka kemacetannya saja sudah membuatku ingin muntah. Dan berapa ratus ribu ongkos taksi yang kubayar, atau berapa juta. Ah masa bodoh, untuk yang satu itu aku tak peduli. Yang terpenting aku bisa sampai di rumah. Dan aku tidak akan meminta Kak Bintang atau abah menjemputku, aku ingin membuat kejutan untuk mereka.

“Ternyata lalu lintas di negaramu separah ini ya,” komentar Javier saat kami berada di dalam taksi. Dan ini sumpah, kemacetan benar-benar sangat parah. Bahkan taksi yang kami tumpangi tidak bisa bergerak sedikitpun.

“Bukankah kau bilang pernah ke Indonesia? Masa belum tahu jika lalu lintas di sini seperti ini."

“Waktu itu aku ke kota Yogya, lalu lintasnya memang padat tapi tidak separah ini.”

“Lho, memangnya Sekar tinggal di Yogya? Bukannya Ivan bilang Sekar tinggal di Semarang ya?”

“Memang iya, tapi saat itu Sekar sedang mengajar di salah satu universitas di Yogya, orangtuanya bilang begitu. Sekar tinggal di Yogya. Aku mencoba mencarinya ke sana tapi hasilnya nihil. Sepertinya aku dibhongi, karena semua universitas di Yogya tidak yang memiliki dosen bernama Sekar Arumsari.”

“Malang sekali nadibmu, Jave. Baiklah aku akan memabantumu. Kebetulan seminggu lagi aku akan mengisi acara di salah satu perguruan tinggi di Semarang sekalian mengunjungi eyangku. Barangkali kita bisa ke sana bersama dan aku akan membantumu mencari Sekarmu itu.”

“Terima kasih, Haya.”

No worries. Selama aku tinggal di Granada, kau dan keluargamu sangat baik padaku. Ini saatnya aku membalas kebaikan kalian.”

-o0o-

Oh ya ampun, akhirnya kami sampai di rumahku, tepat pukul 8 malam. Setelah membayar ongkos taksi yang sangat merogoh kocek, aku dan Javier segera berjalan menuju teras. Lampu teras masih menyala dengan terang, namun lampu di dalam rumah sudah temaram. Itu artinya abah dan ambu sudah tidur.

Aku menoleh ke belakang, ada mobil Kak Bintang. Itu artinya Kak Bintang dan keluarganya menginap di sini. Wah double surprise. Aku mengetuk pintu. Javier di sampingku hanya terdiam memandangi aktivitasku.

Assalamu’alaikum ... abah ... ambu. Assalamu’alaikum.”

“HAYA!” Suara teriakan yang sangat kukenal itu memanggil namaku. Buru-buru aku menoleh. Mataku lalu berkaca-kaca. Oh tidak, ini bukan mimpi. Ambu berdiri sekitar 10 meter di depanku. Tidak, bukan hanya ambu tapi juga ada abah, Kak Bintang, juga istri dan kedua anaknya.

Ambu teu mimpi? Eta Haya, anak perawan ambu?” teriak ambu yang kemudian berlari ke arahku, ambu memelukku dengan erat. Aku pun membalas pelukannya. Pelukan yang sudah berbulan-bulan kurindukan.

Ambu nggak mimpi kok, ini beneran Haya. Haya sengaja nggak memberi tahu karena ingin memberi kejutan.”

Di belakang abah dan yang lain menghampiri kami. Aku memeluk abah dan mencium tangan abah. Kak Bintang juga memelukku, selanjutnya Kak Dinar—istri Kak Bintang. Lalu aku jongkok—mensejajarkan tubuhku dengan kedua anak Kak Bintang yang masih balita, Raisa dan Hanum. Jarak usia mereka hanya  tahun. Raisa 4 tahun sedangkan Hanum 3 tahun.

“Dek, kakak kangen banget sama kamu. Meuni nggak pernah telpon kakak ih.” Kak Dinar menangkup wajahku, sejak kecil aku memang akrab dengan Kak Dinar. Kak Dinar dan Kak Bintang sudah bersahabat sejak kecil, tak disangka ternyata mereka memang berjodoh. Terkadang kita tidak tahu bahwa sebenarnya jodoh kita itu adalah orang di sekitar kita, tapi dengan bodohnya kita malah keliling dunia untuk mencari jodoh.

Hampura atuh, Kak. Haya benar-benar sibuk, jarang sekali pegang handphone.”

“Benar itu, telpon orantuanya saja sampai tidak sempat.”protes abah.

“Yang penting kan sekarang Haya sudah pulang.”

Ambu memelukku diikuti Kak Dinar yang juga merapatkan tubuhnya padaku dan ambu.

Hi. Whatsapp bro? Haya ternyata kau pulang bersama Matt. Oh Matt, you look more handsome than the last i saw you.” Mendengar sudara itu aku segera menoleh ke belakang. Kak Bintang sudah memeluk Matt, pelukan khas lelaki.

Ya ampun, kenapa aku sampai lupa dengan keberadaan Javier. Wajah Javier tampak terkejut menerima pelukan Kak Bintang. Ya, Kak Bintang memang sudah mengenal Matt. Seperti yang pernah kubilang, aku pernah mengajak Matt pulang ke rumah ini dulu. Tapi masalahnya, orang yang Kak Bintang peluk itu bukan Matt, melainkan Javier.

“Ternyata kau benar-benar tidak main-main dengan ucapanmu, Matt. Kau benar-benar datang lagi ke rumah ini. Dan pasti tujuanmu sudah jelas, untuk melamar adikku kan?”

“Kak Bintang, dia bukan Matt. Dia itu Javier, temanku dari Granada.”

MAAF. SEBAGAIAN DIHAPUS GUNA KEPENTINGAN PENERBITAN.


Terima kasih sudah memberi vote. Oh ya. Mohon kritik dan sarannya dong! Hehhe

Gunungkidul, 19 Juni 2018

Di Bawah Langit Granada (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang