📌 Bukit Seberang Alhambra 📌

4.2K 411 11
                                    

SELESAI sarapan, aku dan Javier melanjutkan perjalanan dengan bus. Javier memaksa untuk membayar tiket bus kami berdua, aku tak bisa menolak. Sebagai gantinya, saat makan siang nanti aku yang akan membayar.

Dua puluh menit perjalanan akhirnya kami berdua sampai. Menuju ke Albayzin, kami menyusuri sebuah jalan sempit bernama Calderia, yang mana di sepanjang jalan penuh dengan toko yang menjual barang-barang tangan bergaya Arab. Memang, Granda memiliki arsitektur berbau Islami, pengaruh budaya Maroko sangat kental di kota ini. Dan Istana Alhambra menjadi detak jantung kota bersejarah Islam ini. Sedangkan Albayzin letaknya di sisi bukit yang berseberangan dengan Alhambra, sebuah kota tua dengan rumah berdinding putih khas Maroko menjadi pemandangan indah di Albayzin.

“Kau bisa membeli pernak-pernik berbau Islami di sini!” ujar Javier saat kami melewati beberapa toko yang menjual alat-alat sholat.

“Aku seperti sedang tidak berada di Spanyol. Ini mirip dengan souk di Maroko yang pernah ku kunjungi.”

“Kau pernah ke Maroko?”

“Ya. Maroko adalah negara pertama yang kukunjungi. Sekaligus menjadi perjalanan pertama yang kutulis menjadi sebuah buku.” Aku mengelurakan sebuah buku dari dalam ransel kecilku, lalu kuberikan kepada Javier. Javier pun menerimanya dan membaca sampul buku tersebut.

“Wow! Ternyata kau seorang penulis buku juga, Haya?” tanya Javier dengan ekspresi terkejut. Aku hanya menanggapi dengan senyuman.

Kami berdua terus berjalan menyusuri jalanan sempit. Banyak turis di kota ini. Walau sudah menjadi kota turis, kota ini tetap tak berubah, sederhana dan dinamis sekali. Kurasa aku mulai betah di kota ini, untung saja aku berada di sini cukup lama. Aku akan benar-benar memanfaatkan keberadaanku di kota ini dengan baik, sebelum aku benar-benar berhenti menjadi travel blogger seperti keinginan abah dan ambu. Mungkin kota ini akan menjadi kota penutup yang terindah.

Javier mengajakku menaiki sebuah bukit. Dari bukit ini aku bisa melihat kemegahan Istana Alhambra. Albayzin dan Alhambra berada pada bukit yang berbeda dan dipisahkan oleh sebuah sungai. Berulang-kali aku berdecak kagum akan keindahan Istana Alhambra yang begitu megah dan dikelilingi oleh Pegunungan Sierra Nevada.

Sayangnya aku datang saat musim dingin, seharusnya aku datang pada saat musim panas, agar aku dapat menikmati pemandangan kota ini dengan cerah. Akan tetapi, sisa-sisa salju putih tetap tak mengurangi keindahan kota ini.

“Bagaimana? Kau senang kan kuajak ke tempat ini? Aku menepati janjiku kan?”

“Tentu saja aku sangat bahagia.”

“Besok, aku akan mengajakmu ke Alhambra. Supaya kau bisa melihat peninggalan sejarah Islam di kota ini.”

“Itu memang destinasi utamaku di kota ini.”

“I’ll take you there.”

“Javier, boleh aku bertanya sesuatu padamu?” tanyaku melirik Javier yang berdiri di sampingku. Ia melihat lurus ke depan, memandang keindahan Istana Alhambra dari tempat kami berdiri. Setelah dua menit, Javier masih terdiam, aku pun juga diam. Menunggu reaksi Javier selanjutnya.

“Tanya apa?” tanya Javier akhirnya.

“Boleh aku tahu siapa itu Sekar? Kenapa Maria mengira aku adalah Sekar?”

“Bukan siapa-siapa. Tidak penting!” jawab Javier dingin.

“OK. Tak apa jika kau tak bersedia menjawab. Maaf telah menganggu privasimu.”

“OK! Saatnya kita turun dari bukit ini. Jam tanganku menunjukkan pukul 10. Kita ke masjid! Aku ingin sholat dhuha. Apa kau juga mau sholat dhuha?” tanya Javier mengalihkan pembicaraan. Aku yakin, Javier sangat tidak nyaman dengan pertanyaanku. Membuatku semakin penasaran siapa Sekar sebenarnya? Mengapa nama itu sangat berpengaruh pada diri Javier?

Di Bawah Langit Granada (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang