📌 Menyentuh Rasa 📌

3.7K 408 4
                                    

“LO beneran nggak inget gue, Ay?” ujar pemuda itu sembari menatapku, bola matanya membulat sempurna. Sementara aku hanya terdiam.

“Aduh, Ay. Muka gue ganteng begini kok lo bisa lupa sih? Coba deh inget-inget!” katanya sembari memegang pundakku lalu mengguncangnya. Aku terkejut, kulirik bahu kanan lalu berpindah ke bahu kiri. Dengan tatapan tajam aku memandangnya.

Oh, i’m sorry,” katanya lalu melepaskan kedua tangannya dari pundakku.

“Kamu siapa? Apa kita pernah ketemu sebelumnya?” tanyaku.

OH MY GOD. Cahaya Salsabila! Lo cantik-cantik kok pikun sih?” celetuknya kemudian tertawa. Pemuda ini benar-benar menyebalkan, sikapnya tidak sopan. Apakah aku pernah mengenal pemuda seperti ini sebelumnya? Sementara itu, Javier hanya terdiam membisu, ia tak mengerti tentang percakapanku dan pemuda itu. karena kami berbicara dalam Bahasa Indonesia.

“Ay, perhatikan baik-baik wajah ganteng gue!” Pemuda itu memegang pipinya dengan kedua tangan.

“Gue Yoda, Ay. Ayodya Anggara. Temen TK sampai SMP lo, temen main karambol lo, temen ngebolos pas pelajaran seni rupa gara-gara kita nggak bisa ngegambar. Masa lo nggak inget sama gue sih? Asem lo Ay, giliran udah terkenal lupa sama gue.”

Mataku membukat sempurna mendengar ucapan pemuda tengil di hadapanku ini, bibirku mengaga, seakan tak percaya. Pemuda gondrong berkumis tebal di hadapanku ini adalah Yoda, Ayodya Anggara teman sekelasku waktu di SMP. Penampilannya yang sekarang jauh berbeda 180 derajat dengan yang dulu, pantas saja aku pangling. Dulu itu Yoda berkaca mata, ingusnya kemana-mana, rambutnya dibelah tengah dan selalu menangis jika kalah main karambol denganku.

Dulu aku dan Yoda memang berteman sangat akrab, kebetulan nenek Yoda adalah tetanggaku. Ia sering megunjungi neneknya, bahkan menginap. Kesibukan orangtuanya membuat Yoda lebih dekat dengan sang nenek. Namun, setelah lulus SMP, orangtua Yoda membawanya pindah ke Jakarta, hal itu membuat kami berpisah, bahkan kami tak saling berkomunikasi melalui apapun sejak saat itu. Sekarang, aku tak menyangka bisa bertemu dengannya lagi di negeri ini, tempat yang sangat jauh dari kota kelahiran kami, Bogor.

“Yoda ini benar kamu? Sepertinya aku mimpi deh. Kamu bukan Yoda.”

“Gue Yoda, Ay? Elaaah nggak percaya banget sih lo.”

“Masalahnya, Yoda temanku itu adalah Yoda si buruk rupa dan tukang nangis.”

“Kampret lo, Ay!” Yoda mendorong pundakku pelan. Aku pun tertawa. Yoda juga tertawa.

Masyaa Allah. Aku masih nggak menyangka kamu ini Yoda. Kenapa bisa berubah 180 derajat begini sih, Da? Kamu oprasi plastik ya? Ma-sa-lah-nya, Yoda yang dulu itu...” aku menahan ucapanku, lalu, aku tertawa terbahak-bahak. Yoda mencebikkan bibirnya, seolah ia tahu apa yang akan kukatakan selanjutnya. Tapi setelahnya, Yoda tertawa juga.

Excusme,” ujar Javier menginterupsi gelak tawa kami. Aku tersadar. Astaghfirullah. Aku lupa jika ada Javier diantara kami. Aku terlalu antusias bertemu teman lam. Sepertinya sudah hampir 10 tahun aku tak bertemu Yoda. Teman kecilku.

“Aku akan membuatkan teh untuk Yoda dulu. Kebetulan mama dan papa tak bisa menyambut kedatangan Yoda, jadi saya yang akan membuatkan teh sebagai ucapan selamat datang di rumah ini. Apa kau juga mau minum teh, Haya?”

“Oh tidak terima kasih. Aku sudah membuatnya tadi,” tolakku.

Kemudian, Javier bergegas menuju dapur, menyisakan aku dan Yoda di ruang tamu. Aku dan Yoda saling pandang, lalu sepersekian detik kemudian kami kembali tertawa. Kami pun duduk sembari nostalgia, bercerita tentang kenakalan-kenakalan kami di masa kecil.

Di Bawah Langit Granada (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang