📌 Benteng Alcazaba 📌

3.9K 476 34
                                    

Ayodya Anggara telah mengakui bahwa semenjak menetap di Benua Eropa ia telah menanggalkan imannya. Menjadi kaum minoritas telah membuatnya terlena untuk melepas iman dari hatinya dengan mudah. Dan kenyataan itu cukup membuat kepalaku pengar. Aku jadi membayangkan diriku sendiri, bagaimana seandainya jika aku seperti Yoda, tidak bisa mempertahankan imanku. Seringkali aku mendapat cemoohan karena identitas muslimku—setiap kali aku singgah di negara muslim minoritas yang kusinggahi. Puncaknya, saat aku berkunjung ke London 2 bulan lalu. Waktu itu aku sedang menikmati senja di London Bridge, tiba-tiba aku mendapat serangan dari seorang gadis berambut pirang yang mengaku sangat membenci Islam karena ibunya menjadi korban bom London pada tahun 2005 silam.

“Apa ada yang menganggu pikiranmu, Haya?” suara Javier menarikku kembali pada kenyataan. Tidak. Sama sekali tidak mungkin aku akan membiarkan imanku luntur begitu saja. Meski aku belum menjadi muslim yang baik, aku tetap akan mempertahankan nikmat iman yang sudah Allah anugerahkan padaku.

“Tidak, memangnya kenapa?” tanyaku—berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

“Kami mengajakmu melanjutkan perjalanan tapi kamu hanya diam saja.”

“Oh ... mmm ... mungkin karena aku masih lelah. Jadi tidak konsentrasi,” aku tersenyum menutupi ketakutan dalam hatiku, andai apa yang Yoda alami juga terjadi padaku.

“Baiklah. Apa kamu masih ingin istirahat lebih lama lagi?”

“Tidak, Javier. Waktu kita kan terbatas. Lebih baik kita segera ke tempat selanjutnya saja. Lagi pula pukul 3 sore kamu harus jempur orangtua dan adikmu di stasiun kan?”

“Tapi aku nggak ingin terjadi sesuatu padamu jika kamu kelelahan,” kata Javier dengan kening mengernyit.

“Hemmm ... aku jadi benar-benar curiga.” Sahut Yoda, kedua tangannya ia lipat di depan dada.

“Curiga apa?” tanyaku sinis.

“Sepertinya kalian berdua memang ada sesuatu. Kalian berdua itu saling perhatian satu sama lain,” sindir Yoda kemudian menyeringai.

“Perhatian dengan teman boleh saja kan, Yoda? Aku juga perhatian padamu kok.” Elak Javier kemudian tertawa ringan.

“Kamu perhatian padaku, Javier? Tidak! Tapi aku masih menyukai wanita, Javier. Maaf!” ujar Yoda dengan wajah jijik memandang Javier.

“Bukan begitu. Kamu kira? Aku masih normal dan cukup waras untuk tidak jatuh cinta padamu, Yoda.”

“Hahahahaha ...” aku tertawa lepas. “Kalian berdua menjijikkan.”

BUUUGGGHHH!

Tas kamera Yoda mendarat dikepalaku, seketika kepalaku terasa pening. Tas itu memang tidak ada isinya, karena kameranya tergantung di leher Yoda. Tapi, Yoda memukulkan tas kecil berwarna hitap itu cukup keras.

“Satu sama!” kata Yoda padaku dengan wajah kesal.

“Nyeuri, blegug maneh!” omelku sembari menendang kaki Yoda.

“Kalian berdua bertengkar terus. Yang aku tahu ... kalau ... sering bertengkar itu, nanti lama-lama jadi saling cinta. Awas lho!”

“AKU? DAN YODA? SALING CINTA? .... NEVER!”

“Gue juga ogah kalik sama lo, Ay. Kayak nggak ada cewek lain aja di dunia ini. Cewek Eropa lebih cantik-cantik, sexi, bohay dari lo.”

“Kamu percaya diri banget sih? Memang ada gadis Eropa yang menyukaimu. Iyuuuuh ... Kamu pikir aku juga mau sama kamu? Cengeng, ingusan, suka kentut kayak kamu.”

“Itu kan dulu. Sekarang lo bisa lihat! gue ganteng, keren dan mempesona begini.”

“Sudah dong, Da. Kamu nggak usah banyak gaya. Buktinya masih jomblo kan sampai sekarang?”

Di Bawah Langit Granada (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang