📌 Berhenti Dari Pekerjaanmu! 📌

5.2K 481 1
                                    

Usai mengisi acara kajian bulanan KMIS aku memutuskan untuk menyewa hotel tak jauh KBRI, rasanya aku lelah sekali. Baru besok ba’da subuh aku akan meluncur ke Granada, menuntaskan misi utamaku mengunjungi negeri matador ini.
Kamar hotel ini hanya sederhana, hanya ada satu set tempat tidur ukuran kecil, satu almari warna putih di sudut ruangan. Aku memang sengaja memilih hotel bertarif murah, menghemat dana. Memang itu yang harus kulakukan sebagai travel blogger.

Aku melirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Pukul 2 siang, itu artinya Bogor pukul 8 malam. Aku harus menelpon abah dan ambu, sejak tadi ambu tak membalas pesanku. Pasti mereka sedang bersantai sembari menikmati teh hangat di teras rumah, itu adalah kebiasaan keluarga kami setelah melaksanakan sholat isya dan makan malam. Kumanfaatkan fasilitas wifi hotel untuk mem-video call ambu, aku kagum pada hotel ini, walau hotel sederhana namun sinyal wifi-nya sangat kuat dan di manapun kita berada bisa mengakses dengan mudah.

Tak butuh waktu lama video call pun tersambung, di layar ponsel 4 inch-ku menampakkan wajah senja ambu dengan jilbab berwarna krem membingkai apik. Mataku berkaca-kaca, aku rindu ingin dipeluk olehnya. Ambu tersenum manis padaku.

Assalamu’alaikum,” sapaku lirih sembari mengusap air mata yang menggenangi kelopak mataku. Sudah 6 bulan aku tidak berada di sisi kedua orangtuaku. Rindu mulai menyerang.

“Wa’alaikumsalam. Kumaha kabarna, Neng? Ambu teh sono,” (Wa'alaikumsalam. Apa kabar, Neng ? Ibu kangen.) jawab ambu dengan senyum mengembang.

“Abi oge sono ka ambu jeung abah. Kabar abi mah sae. Di dinya sadayana kumaha kabarna?” (Aku juga kangen sama ibu dan ayah. Kabarku baik. Di sana semuanya apa kabar?)

“Sadayana sae oge. Lamun sono nya geura uih atuh neng!” (semuanya juga baik. Kalau kangen ya pulang dong!)

“Insyaa Allah seantos urusan abi rengse, abi badhe uih.” ( Insyaa Allah setelah urusanku selesai, aku akan pulang).

Tiba-tiba wajah ambu berganti dengan wajah abah. Wajah yang begitu tenang setiap kali aku melihatnya.

“Abah mah omat ka neng atosan damelna. Teu aman kanggo muslimah sepertos neng mah,” (Ayah mohon sama kumu berhenti dari pekerjaan ini. Nggak aman untuk muslimah sepertimu) ujar abah dengan tenang. Seperti ada hal yang menghantam dadaku. Ini bukan pertama kalinya abah menyuruhku berhenti dari pekerjaanku sebagai travel blogger.

Abah selalu bilang padaku bahwa sebaiknya muslimah itu bekerja sesuai dengan kodratnya. Dan pekerjaanku ini tidak sesuai dengan syari’at dan kodrat muslimah. Ada banyak pekerjaan yang bisa kulakukan sebagai muslimah dan sesuai deng skill-ku. Aku bisa membuka kursus bahasa Inggris, melamar kerja sebagai guru seperti abah atau membantu kakakku mengembangkan usaha restorannya. Begitu kata abah yang selalu membujukku untuk berhenti dari pekerjaan ini.

“Haya, sayang, kamu kenapa Nak? Kamu baik-baik saja?" Suara ambu membuyarkan pikiranku yang berkendara. Kini di layar ponselku tampak wajah abah dan ambu.

Abah benar. Kamu berhenti saja dari pekerjaanmu ya! lagipula, usiamu sudah lebih dari seperempat abad, kamu nggak ingin menikah, Nak?" tanya ambu.

MENIKAH? Ini pertanyaan pertama yang dilontarkan ambu kepadaku. Selama ini belum pernah terpikir olehku untuk melakukan hal itu, menyempurnakan separuh agamaku. Walau banyak pertanyaan semacam dari sanak saudara dan teman-temanku. Ini pertama kalinya orangtuaku menanyakan hal itu. Kupikir selama ini mereka sama santainya denganku, tapi akhirnya pertanyaan itu meluncur juga.

“Haya, kamu dengar ambu kan? Menikah itu adalah tujuan setiap orang. Apa kamu sudah punya calon?”

"Ca-lon? Belum ambu. Haya belum terpikir untuk menikah.”

Di Bawah Langit Granada (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang