#20 : Rewind

160 28 8
                                    

Apakah karma itu benar-benar ada?  Itulah yang dipikirkan Jinyoung sejak beberapa jam terakhir. Hari ini ia terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang sesak. Udara di sekitarnya seolah berubah kotor sehingga paru-parunya harus bekerja lebih keras untuk menetralisir. Ah tidak, kenyataannya jelas bukan seperti itu. Yang salah ada pada takdir hidup yang sedang menghukumnya. Baiklah, ini adalah waktu yang tepat untuk menerima hukuman atas seluruh kejahatan yang pernah ia lakukan.

Jinyoung terduduk di atas ranjang dengan kasur yang keras dan kain sprei kusut. Beberapa hari lalu setelah Franklin Han mendatangi studionya, ia memilih menyewa tempat baru, tepatnya ia hanya ingin memikirkan ulang permintaan Franklin Han padanya.

Pagi ini, cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah tirai jendela kecil. Kamar di dalam motel murahan ini sudah tidak pantas lagi untuk disewakan. Cat temboknya mengelupas, debu dimana-mana, karpetnya kotor, dan pengap. Ruangan kecil ini hanya diterangi sebuah bohlam kecil dengan cahaya temaram.

Kamar ini mirip dengan kamar penjara. Jinyoung tertawa kecil karena pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin takdir mempermainkannya seperti ini. Ia adalah seorang pembunuh bayaran. Puluhan nyawa telah dihabisinya tanpa ampun. Tidak seharusnya ia terjebak dalam takdir menjijikkan seperti ini.

"ARGGHH!" Teriak Jinyoung sambil menjambaki rambutnya sendiri.

Dua tahun yang lalu saat ia memutuskan untuk bergabung dengan Franklin Han, sebenarnya ia sudah mempersiapkan diri jika suatu ketika Tuhan ingin menghukumnya. Pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan yang keji. Menghilangkan nyawa tanpa belas kasihan. Ia bahkan tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan orang-orang terdekat atas para korban yang telah dihabisinya. Lagipula, posisinya tak lebih dari seekor anjing pesuruh. Seekor anjing pesuruh tidak akan memedulikan apapun selain imbalan yang diiming-imingi tuannya kan?

Namun kenyataan bahwa Tuhan menghukumnya dengan cara seperti ini terasa sangat tidak adil. Kenapa harus melibatkan perasaannya? Kenapa harus menyematkan perasaan suka ke dalam hatinya jika setelah itu harus dihancurkan? Apa Tuhan memang sekejam ini?

"Hei, kau tampak berantakan?" Komentar si pria tua penjaga motel setelah Jinyoung menyerahkan kunci kamar yang ia sewa.

Jinyoung tersenyum tipis. Bahkan ia terlalu malas untuk bercukur hari ini. Rambutnya juga berantakan dan wajahnya pucat. Orang-orang pasti akan menganggapnya gelandangan saat ia keluar nanti. "Terima kasih. Kamarnya nyaman." Ujar Jinyoung sarkatis.

Ngomong-ngomong soal Hwagi, sejujurnya Jinyoung tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Gadis itu pasti membencinya lebih dari apapun. Siapa yang akan sudi melihat wajah seorang pembunuh yang telah menghilangkan nyawa sang ibu? Tidak ada lagi harapan untuk bisa hidup bersama dengan Hwagi seperti yang pernah ia impikan dulu. Sedetik yang lalu, Jinyoung sudah memutuskan untuk menyerah. Ia akan pergi dari hidup Hwagi dan tidak akan menampakkan dirinya di depan gadis itu lagi.

Jinyoung menempelkan kepalanya di atas kaca jendela bus yang ia tumpangi. Semua orang tampak sibuk dengan hidup masing-masing. Hanya hidupnya lah yang sedang berhenti berputar karena kesalahannya sendiri.

Setelah menaiki bus selama tiga puluh menit, Jinyoung turun di sebuah halte. Ia menggerakkan langkah kakinya yang terasa berat menuju salah satu rumah di pemukiman tersebut. Rumah yang dicat dengan warna putih itu tampak menyambutnya dengan keheningan. Setelah sekian lama akhirnya ia kembali lagi. Berbagai kenangan langsung muncul memenuhi pikirannya yang sedang kacau. Saat ia tinggal disini, setidaknya hidup Jinyoung masih baik-baik saja.

Jinyoung baru akan mengambil kunci dari dalam tasnya saat menyadari jika pintu rumah tersebut dapat terbuka dengan mudah. Dahinya berkerut samar dan perasaanya berubah cemas. Bagaimana mungkin ada orang lain di dalam rumah kosong ini?

You Are || JB°JY [COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang