PROMISE - Part 35: Diantara Kawan dan Lawan

280 11 0
                                    

Tap... Tap... Tap.... Tap....

Terdengar suara derap langkah yang diburu sepanjang lorong itu. Sebenarnya, bel baru saja berbunyi, dan masih ada sebagian anak yang belum memasuki kelas. Tapi iel, anak yang tengah memacu langkahnya itu, tetap dengan cepat berjalan menelusuri lorong sekolah itu. Gara-gara mamanya yang terlalu mewanti-wanti dirinya saat pagi tadi, ia jadi agak kesiangan berangkat ke sekolah. Dan kini ia terpaksa datang ke sekolah dalam waktu mepet, dan memaksa dirinya harus memacu langkahnya segera.

Saking terburu-burunya, ia tak lagi memperdulikan sekitarnya. Bahkan pandangan-pandangan aneh dari sebagian anak kepadanya saat dia melintasi kelas-kelas, tak sedikitpun ia sadari. Pikirannya hanya terpokus pada satu tujuan. Ia harus mencapai kelasnya segera. Bukan hanya karena jam pertama pagi itu diisi pelajaran dari pak duta yang terkenal dengan kedisplinannya itu, tapi juga karena satu hal. Ia ingin segera menjumpai wajah yang mungkin telah dia buat kesal karena janji mereka berdua berkali-kali tertunda karenanya. Dan mungkin hanya dengan melihat senyumnya lah, hati iel sekarang bisa lebih tenang, memastikan bahwa gadis itu tak kesal, apalagi marah akan keingkar janjian dirinya selama 2 hari itu.

Sesampainya ia di depan kelasnya, iel segera masuk sambil mengucapkan salamnya, dan tentu dengan senyumnya yang merekah begitu cerah, secerah mentari pagi hari itu.

"pagi..." sapa iel saat baru memasuki kelasnya. Dan matanya langsung menyorot deretan bangku depan. Hatinya sedikit mencelecos kecewa, dia tak dapat menjumpai sosok itu sekarang. Alih-alih melihat keberadaan ify, iel malah menjumpai suasana agak berbeda sekarang. Seketika, sesaat setelah dirinya mengucapkan salam, keadaan kelasnya tiba-tiba agak hening. Padahal sebelumnya, kelas dipenuhi hingar bingar suara anak-anak yang masih mengobrol satu sama lain. Tapi kini, pandangan hampir seluruh penghuni kelas tertuju padanya.

Iel balas menatap dengan pandangan heran. Keningnya sedikit mengernyit. Lalu ia memperhatikan pakaiannya. 'apa ada yang aneh sama gua ya?' benak iel sambil terus memperhatikan pakaiannya. Tapi keheningan itu terpecahkan akan sebuah suara.

"ohh... Berani datang bareng sekarang... Bagus!"

Iel mengangkat wajahnya, dan menatap lurus sumber suara sinis itu. Itu suara sila. Iel jadi semakin mengernyitkan keningnya. 'Bareng? Apaan yang bareng?' benak iel. Tapi ia sadar, pandangan anak-anak tidak mengarah padanya sekarang, tapi pada seseorang yang tepat ada di belakangnya. Perlahan iel menoleh ke belakangnya. Sudah ada ify di belakangnya, berdiri diam tepaku disana.

Sesaat iel dan ify saling pandang. Iel agak sedikit terperangah melihat ify. Wajahnya begitu sendu, dan kantung matanya tampak sedikit cekung, semakin memepertegas garis letih di wajah itu. Dan sinar mata itu. Sinar mata itu memang tak semerlang biasanya. Bahkan cenderung redup, seakan diselimuti kabut yang begitu kelam. Tapi mata itu kini menatapnya tajam, seakan menusuk tajam, menghujam ke arahnya. 'ada apa di balik tatapan tajam ini?' benak iel. Sesaat hati iel merasa.... terasingkan?

Sesaat kemudian, Ify membuang pandangannya, lalu segera melewati iel dan melangkah menuju bangkunya. Iel yang tetap terdiam di pijakannya, hanya sanggup menatap, mengekor langkah gadis itu. 'ada apa dengan dia?' iel benar-benar tak mengerti dengan keadaan yang tengah terjadi di depanya itu. Keheranan iel semakin menjadi-jadi saat mendengar ucapan sinis sila saat ify memandang sila saat melewati bangkunya.

"kenapa loe liat-liat gue?! Dasar penghianat!" sinis sila. Ify hanya tertunduk, lalu terus melangkah ke bangkunya tepat dibelakang sila.

"gue janji ga bakal ngehianatin sahabat gue sendiri... Anak SD juga bisa SMS gituan... Sahabat apaan?! Bullshit loe! Sekali penghianat, tetep aja penghianat! Ga bisa di pegang omongannya..." ledek sila lagi tanpa memandang ify. Sivia dan septian yang duduk di dekat sana tak bereaksi apapun, tetap diam bertahan dengan sikap dingin mereka. Ify yang duduk di belakang sila, hanya mampu memandang teman-temannya dengan tatapan terluka, lalu kembali menunduk.

PROMISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang