Kefakiran yang Sesungguhnya

350 10 1
                                    

Selamam saya menghabiskan waktu dengan menonton film serial tentang Khalifatul Muslimin Abdul Hamid II. Sejak pertama menonton di serial pertama, saya jatuh cinta dengan semua kehidupan Sang Sultan. Ya, film tersebut menggambarkan kehidupan Sang Sultan sebagai pribadi yang selalu menjadikan kepentingan umat islam yang berada di bawah kekuasaannya sebagai prioritas utama.

Serial yang ditayangkan TRT Chanel tersebut mengangkat kehidupan Sultan terakhir Turki Utsmani, benteng terakhir umat islam dunia dengan Judul 'Payitaht Abdulhamid' .

Ada satu quote menarik yang saya temukan di serial kelima. Quote ini mengajarkan arti kesederhanaan dan kepeduliaan terhadap sesama.

Kefakiran terbesar dalam kehidupan adalah kemewahan hidup dan berlebihan. Kefakiran itu terlihat dari egonya yang hanya peduli terhadap dirinya sendiri, dia tidak peduli terhadap kebutuhan orang lain. (Sultan Abdul Hamid II)

Ya, memang betul apa yang dikatakan Sang Sultan. Hal ini persis seperti yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam, "Kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan jiwa."

Ketika seseorang tidak pernah memikirkan orang lain, hanya peduli untuk dirinya sendiri, berarti dia miskin. Ya, miskin karena dia tidak mampu memberi. Dan kaya adalah ketika seseorang bisa memberi. Tidak selalu berbentuk harta. Memberi perhatian, kasih sayang dan cinta bisa termasuk ke dalam kekayaan yang tidak ternilai dan berharga untuk orang lain.

Kekayaan akan semakin bernilai jika memberi manfaat kepada orang lain dan memberi manfaat untuk kemaslahatan umat. Kekayaan yang melimpah dan semakin berkah seperti kekayaan Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan.

Islam tidak melarang kita untuk kaya, tapi islam meminta kita untuk berbagi.

Kemudian ada satu qote lagi yang menarik perhatian saya. Quote ini saya ambil dari nasihat sang sultan kepada para Pasha yang setia mendampinginya.

Mereka (musuh-musuh kebenaran) ingin membunuh kita, tapi mereka tidak tahu bahwa bagi kita kematian adalah awal kehidupan yang abadi. Sementara mereka menganggap kematian mereka adalah akhir segalanya. (Sultan Abdul Hamid II)

Ya, benar apa yang dikatakan sang Sultan. Perbedaan pasukan muslim dan pasukan kekafiran ketika bertempur adalah perspektif mereka dalam menyikapi kematian. Pasukan beriman justru merindukan kematian karena begitu agungnya kesyahidan di jalan juang. Janji-janji Allah dan Rasul-Nya adalah pemantik semua sikap patriotic tanpa rasa takut yang mencengkram hati mereka. Kebalikan dari apa yang dihadapi pasukan kafir. Mereka menganggap kematian adalah akhir dari segala kehidupan sehingga berusaha untuk menghindarinya.

Bening HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang