Jumat sore.
Yuki memilih menghabiskan waktunya di rumah. Ia ingin bersantai dan menikmati
Friday Evening -nya setelah satu minggu penuh berkutat dengan tugas sekolah. Yuki sudah kelas tiga. Sebentar lagi ia akan menghadapi Ujian Nasional dan sekolah sedang giat-giatnya mengadakan try-out untuk melatih kesiapan siswa kelas tiga menghadapi ujian.Yuki pikir tidak ada salahnya kalau ia bersantai sejenak. Toh, ia juga tidak ingin terlalu terbebani dengan tanggung jawabnya sebagai siswa kelas tiga. Kak Nuel bilang, ujian nasional itu tidak perlu ditakuti. Jalani dan hadapi saja. Kalau terlalu dipikirkan, nanti malah stres sendiri.
Yuki terkikik sendiri mengingatnya. Sambil mengaduk cokelat panasnya, Yuki berjalan menghampiri kakaknya yang sedang duduk di sofa ruang tengah sambil bertelepon.
“Berapa lama dia akan menginap?”
Yuki melirik Nuel seraya menyesap cokelat panasnya. Dilihat dari ekspresi yang ditampilkan kakaknya, sepertinya ia tengah kesal dengan seseorang di seberang telepon.
“Sungguhan dua hari, kan? Tidak lebih? Aku tidak mau bocah ingusan itu terlalu lama tinggal di sini. Dia pasti merepotkan.”
Bocah ingusan?
“Ck, iya iya. Tapi Mama harus berjanji meminta Papa untuk menambah uang jajanku. Walau bagaimana pun ada satu anak lagi yang harus aku urus.”
Mata Yuki sontak membulat senang. “Itu Mama?” tanya Yuki tanpa suara. Ia ingin menjerit dan merebut ponsel itu dari tangan kakaknya.
Tapi bukannya menjawab, Nuel malah mendengus dan mengabaikan Yuki.
“Baiklah, aku akan mengurusnya. Mama tidak usah khawatir. Aku akan mengatakannya pada Yuki. Baiklah, Ma. Bye. ”
“Kenapa Mama menelepon? Apa Mama akan mengunjungi kita?” Yuki langsung memberondong kakaknya dengan pertanyaan penuh nada antusias. Gadis itu menyimpan cokelat panasnya dan lantas merapat pada tubuh besar kakaknya.
Nuel menggeleng. “Bukan Mama yang mengunjungi kita. Tapi bocah ingusan menyebalkan itu.”
“Bocah ingusan?” Yuki mengernyit. Ia ingat kakaknya sempat mengatakan sesuatu tentang bocah ingusan ketika bertelepon. “Siapa itu?”
“Keanon. Kau ingat? Tetangga kita sewaktu di Bandung yang selalu mengikutimu ke mana-mana. Persis seperti anak ayam yang mengekor pada induknya.”
“Keanon?” Yuki berusaha mengingat-ingat. Sudah lama sekali sejak ia dan keluarganya meninggalkan Kota Bandung dan memilih tinggal di Jakarta. Kalau tidak salah, ia memang sempat tinggal di Bandung sampai kelas lima SD. Dan anak yang bernama Keanon itu ....
“Ah! Keanon yang itu? Keanon si kangguru kecil itu?!” Yuki memekik senang. Ia bahkan nyaris melompat-lompat di atas sofa. Nuel yang melihatnya melotot panik. Ia cepat-cepat menahan tubuh Yuki agar tidak benar-benar melompat di atas sofa. Bisa gawat kalau ia harus mengeluarkan uang lagi untuk memperbaiki sofa yang pernah rusak lantaran ulah adiknya yang terlalu lincah.
“Kapan ia akan datang ke sini? Oh ya ampun anak itu. Terakhir aku bertemu dengannya dia masih kelas dua SD. Kalau tidak salah, sekarang ia sudah kelas tiga SMP kan? Ah, apa ia masih suka melompat-lompat seperti kangguru? Dulu Keanon menggemaskan sekali, dia selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Dia juga selalu menungguku pulang sekolah. Apa dia hmph—“
Pusing mendengar celotehan adiknya yang nyaris tidak ada jeda, Nuel lantas membekap mulut Yuki dan menatapnya jengkel. “Berhenti mengoceh, aku pusing mendengarnya. Bocah itu akan sampai besok pagi. Dia datang ke sini untuk melihat sekolahmu. Dia masih mencari-cari sekolah yang bagus untuk melanjutkan bangku SMA-nya, dan sekolahmu jadi salah satu pertimbangan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Creamy Bubble Series
Short StoryBolehkah aku mengatakan ini padamu, Stefan? Bahwa hari ini, kau lagi-lagi berhasil membuatku jatuh cinta padamu. Karena melihatmu dan merasakan kehadiranmu di dekatku, selalu berhasil membuatku jatuh cinta padamu. Berulang kali. Di setiap harinya...