"Gila, sebenernya setan yang selalu ngintilin lo maunya apasih?!"
Rayla dengan muka tidak percaya setengah sebalnya itu bertanya kepada Yeri.
"Maksud kamu apa, La?"
"Dia datengin gue di dalam mimpi! Apalagi abis magrib lagi! Gila ya itu setan." omel gadis yang memiliki tinggi seratus enam puluh tujuh centimeter itu.
"Makanya jangan tidur magrib-magrib, untungnya kamu gak kerasukan loh." ucap Yeri yang sekarang tengah mengelap meja, dan Rayla ikutan juga.
Tidak mungkin jika Yeri bisa duduk bersantai berdua. Mengingat kalau saat ini ia adalah Sri si pegawai restoran, bukannya Yeri si pemilik restoran.
"Sri, lo harus cepetan temuin kotak coklat itu." kini Rayla menatap Yeri dengan pandangan serius, bahkan gadis itu sudah meremas kain lap yang di pegangnya.
Yeri menghela napas. Ia harus bagaimana? Membongkar isi dari loker Jiva? Atau mengikuti saran dari Jerka kemarin?
Pusing.
"Jangan diem aja elah!"
"Ini aku juga lagi mikir. Makanya diem." balas Sri.
"Katanya lo tanya Judha aja kalau gak tau. Cowok itu tahu semuanya." lanjut Rayla yang sumpah membuat Yeri semakin bingung.
Kenapa semua hal ini berkaitan dengan Judha juga?! Ada apa??? Sejauh yang Yeri tahu. Judha tidak pernah dekat dengan perempuan kecuali Yeri dkk. Apalagi Suri. Tidak mungkin Judha berteman dengan Suri.
Kelopak mata Yeri berkedip ketika debu bertebangan menyapunya. Ia tidak lupa dengan pembicaraannya dengan Rayla kemarin malam.
Dan ada satu mahluk yang Yeri lihat saat ini. Yang tengah duduk di depannya dengan pandangan kosong, tidak memiliki hal yang di pikirkan, cowok itu melamun.
Jerka yang biasanya menganggu dan menyebalkan itu mendadak bisa diam ketika datang tanpa membuat onar.
"Loh, ngelamunnya udah?" Jerka bertanya ketika sudah sadar dari lamunannya dan melihat Sri yang tengah mengotak-atik ponsel buntutnya.
Sedangkan sebelah alis milik Sri terangkat.
"Aku gak ngelamun tadi."
Jerka mendecih. "Buktinya gue dateng aja lo gak tau." lalu melipat kedua lengannya di depan dada. "Lo tadi ngelamun, makanya gue juga ikutan melamun." sambungnya dengan intonasi suara yang memelan.
Sri hanya memandang Jerka. Ia harus bagaimana? Ikut rencana Jerka atau minta tolong ke Pamannya? Duh, tidak mungkin. Pasti pamannya itu bakalan ketawa-kitiwi melihat dandanannya sekarang.
Karena yang Sri tahu, Om Kaivan itu sifatnya sebelas dua belas sama anaknya, Si Malika.
"Di FH gak ada perpus ya? Kok kesini terus?"
"Ada."
"Terus ngapain kesini? Kamu menuh-menuhin tempat aja. Kasian anak ekonomi lainnya gak kebagian kursi." celetuk Sri yang langsung membuat Jerka menolehkan kepalanya kekiri dan kekanan guna menyapu pandangan di seluruh sudut perpustakaan.
"Emang badan gue selebar preti apa gimana? Ini perpus kosong kok gue yang penuhi." lalu memalingkan kepala layaknya anak kecil merajuk karena tidak mendapatkan permennya.
Bukannya tertawa, Sri malah semakin gelisah dengan keadaannya sekarang. Berbicara dengan Jerka bukanlah solusi untuk menghilangkan rasa bingung dan juga kepanikan ini.
Kakinya bergerak dengan gusar, telapak tangannya sudah dingin dan berair.
"Mbak Sri? Lo kenapa?"
Tapi Sri tidak menjawab.
"Lo mau gue anterin pulang?"
Kepala Sri langsung menggeleng. Dan Jerka dibuat bingung sendiri.
"Atau mau gue beli'in trasi?"
Lagi. Kepala Sri menggeleng. "Aku boleh minta tolong ke kamu gak?"
Sontak Jerka langsung menyenderkan punggungnya di kursi dan masih melipat kedua lengannya di depan dada. Menatap Sri seperti seorang mafia yang tengah berdiskusi tentang barter apa kita hari ini.
"Gak gratis lo."
Sri memejamkan matanya rapat-rapat sembari menggesekkan giginya. Salah besar memang jika bertanya ke Jerka.
"Yaudah kalau kamu gak iklas, gak jadi aja." Sri bangkit dari duduknya.
"Oke deh. Oke gue iklas. Nolongin apa?" melihat Sri yang ingin meninggalkan, Jerka otomatis langsung menghadang Sri dengan kata iklas yang sukses.
"Tanyain ke Jiva, apa tujuannya ngambil kotak yang ada di lokernya si Suri." ucap Sri dengan serius.
Jerka bangkit dari duduknya, dan berjalan memutar untuk sampai di samping Sri, sebelum dirinya merangkul kedua pundak mungil milik Sri.
"Oke. Gampang." ucap Jerka tepat di kuping Sri.
Sumpah, Sri risih banget. Untung perpustakaan sepi dan untung dia tidak dalam mode Yeri. Mungkin saat ini ia sudah menendang barang berharga milik Jerka.
"Geli ih! Jangan deket-deket." langsung saja Sri berjalan menjauh dari Jerka. Berjalan menuju pintu perpustakaan yang benar-benar sepi siang ini.
Hanya ada dirinya, Jerka, dan juga satu petugas perpustakaan.
BYUR
Astaga, Sri tidak tahu kalau tepat diatas pintu masuk perpustakaan ada ember besar berisi air yang sudah menimpa badannya, membasahi seluruh badannya, dan juga semua barang yang di pegangnya.
Yang bikin tidak kuat adalah bagaimana semua orang tertawa melihatnya. Bahkan tidak ada orang yang ingin menolong, semuanya tertawa, semuanya berbisik, dan semua membicarakannya.
Yeri ingin menangis. Mungkin, ini yang dirasakan Suri beberapa semester ini.
Drrtttt
From : Suri
Lo kira gue gak tau lo siapa?Yeri sudah menangis. Bahkan ia tidak mendengar suara Jerka yang memanggil namanya atau bagaimana cowok itu marah-marah ke anak-anak lain ketika tidak ada yang menolong perempuan ini.
"Mbak Sri lo gak apa-apakan?" tanya Jerka dengan nada suara yang begitu khawatir.
Hanya menangis sembari terus menunjukan matanya yang berair yang di lakukan Yeri. Sebelum dirinya berlari, membelah kerumunan menakutkan itu dan meninggalkan Jerka dengan segala rasa khawatir milik pemuda itu disana.
Gaes aku pusing kalau udah nulis masuk ke konflik 🙄🙄
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifestyle : Missing The Fashionista
Dla nastolatkówKetika wanita paling ribet dan ruwet di kampus menghilang bagai ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak barang sehelai rambutpun. Jungkook ❌Yeri Kdr, 10/02/2018