Suara hujan dan hembusan angin menemani malam Seungcheol di dalam ruang kerjanya. Tirai yang tersibak terbuka memperlihatkan hujan yang tak henti mengguyur kota.
Suara sruputan terdengar dari laptopnya yang menampilkan wajah Mingyu dengan semug coklat hangat. Di samping pria tan itu terdapat semangkuk penuh marshmellow yang tak jarang dicomot untuk menemani coklat hangat.
"Apa yang ingin kau katakan?" Seungcheol bertanya, jengah hanya melihat pria jangkung itu menikmati minumannya.
"Ugh ... Kita tidak mendapatkannya," Ujar Mingyu.
"Apa yang tidak kita dapatkan?" Seungcheol mencebik dengan desisan.
Mingyu resah di tempatnya. Marshmellow dia kunyah lebih lama, dan dia kesusahan meneguk coklat hangatnya. Bola matanya bergulir kesana-kemari. "Kim ... ."
Seungcheol mengusap wajahnya kasar. Kepalanya seketika pening mendengar satu marga itu.
Dia sudah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan tempat itu. Dia memberikan banyak sekali tunjangan pada casino itu. Karena Seungcheol tahu suatu saat tempat itu akan menjadi miliknya. Tapi sekarang, hancur semua. Bahkan setelah apa yang dia lakukan pada si Kim tua yang tamak itu, dia tidak bisa mendapatkannya.
"Lalu kemana jatuhnya?"
Seungcheol bersumpah akan memampang kepala siapapun itu di gerbang neraka.
"Kim."
"Kim yang mana?"
Jangan bilang Kim yang itu. Yang menjadi momok bisnisnya. Yang punya 1001 cara untuk membuat Seungcheol membuang waktu berharganya demi orang itu.
"Yang itu ... ."
"Bicara yang jelas, Gyu!"
"Yang selalu kau tolak."
Sial.
"Bagaimana bisa kau-"
"Dia ahli warisnya, hyung. Apa yang bisa kita lakukan? Bekerjasama dengannya adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan tempat itu kembali," Serobotnya.
Seungcheol merasakan darah terpompa dengan cepat ke kepalanya yang panas, membuatnya mendidih. Rasanya ingin pecah.
Dia tidak akan pernah menjilat ludahnya sendiri. Apalagi karena bajingan bernama Kim Jong In.
Seungcheol mengerut pangkal hidungnya sebelum berkata dengan suara berat. "Dengar! Aku tidak akan pernah mau mendengar namanya apalagi melakukan bisnis dengannya. Tidak akan ada sepeser pun uangku yang akan dia sentuh. Tidak!" Ujarnya. "Lakukan apapun -aku tidak mau tahu- untuk mendapatkan tempat itu."
Dengan itu dia tutup laptopnya dengan dengusan keras, lalu berjalan keluar dari ruang kerjanya. Berniat menyulut rokok sambil menikmati hujan di balkon tapi suara petir yang menggelegar membuatnya mengurungkan niat.
Mungkin tidur dalam balutan selimut di atas kasurnya yang super empuk lebih baik untuk kepalanya yang sudah bekerja begitu keras.
Seungcheol berjalan perlahan dalam kegelapan. Semua penerangan sudah dia matikan. Penthouse-nya gelap tanpa penerangan dari cahaya bulan sekalipun karena hujan yang lebat.
Dia berjalan dengan sangat hati-hati menaiki tangga. tidak mau membuat harinya lebih buruk lagi dengan tergelincir. Cukup kepalanya saja yang mau pecah -itupun tidak secara harfiah-.
KAMU SEDANG MEMBACA
Company |•Jicheol•|
FanfictionSeungcheol terkejut saat mendapati ekor muncul dari balik Hoodie yang pemuda itu kenakan. Pemuda yang meringkuk di pelataran minimarket. Seungcheol lebih terkejut saat dia tahu kalau wajah yang tersembunyi di antara lutut itu begitu manis. Inspired...