Duapuluh - pembelaan

3.7K 533 3
                                    



Hanbin menghela napas panjang. Sudah sekitar satu jam ia berdiri di depan pintu rumah Jennie. Terus mengetuk pintu namun tak kunjung ada yang membuka.

Garasi rumah Jennie kosong. Itu pertanda orang tua Jennie sedang tidak ada di rumah. Motor adiknya Jennie juga tidak ada.

Ada dua kemungkinan yang terjadi mengapa tak ada yang membuka kan Hanbin pintu.

Pertama, Jennie tidak ada di rumah alias rumah kosong.

Kedua, Jennie ada di rumah, tetapi ia tidak mau bertemu dengan Hanbin.

Pasrah, Hanbin akhirnya beranjak pergi dari teras rumah Jennie.

Entah kebetulan atau tidak, saat Hanbin akan membuka pagar rumah Jennie, saat itu pula Jennie datang dengan berjalan kaki.

"Jennie." Panggil Hanbin.

Jennie mendongak melihat siapa yang memanggil namanya. Ia terkejut saat melihat Hanbin kini berada di hadapannya. Sejak kapan dia ada di rumah?

Jennie enggan menjawab sapaan Hanbin. Ia mengelak. Sedikit memiringkan badan untuk melewati tubuh tegap Hanbin.

Tak membuang kesempatan, Hanbin mencegat Jennie saat gadis itu berjalan di sampingnya.

"Jen, dengerin dulu."

"Apa lagi?" Tanya Jennie seraya melepaskan cekalan Hanbin. Dapat di dengar dengan jelas nada kesal dari perkataannya.

Hanbin memposisikan diri menghadap lurus Jennie. Menatap mata gadis itu agar Jennie dapat melihat kejujuran yang akan ia katakan.

"Lo marah sama gue?"

Jennie mendongak ke atas. Matanya di buat sesinis mungkin. Jadi, Hanbin masih bertanya padanya apakah ia marah kalau jelas - jelas lelaki itu bisa melihat dari tingkahnya yang sudah sangat jelas mendefinisikan sikap marah. Huh.

Tak mendengar jawaban dari Jennie, Hanbin nyerah. "Oke, terserah lo mau marah atau enggak. Tapi dengerin dulu. Gue gak semudah itu melakukan penyerangan kalau gak ada alasan yang kuat."

Jennie masih diam sambil menatap Hanbin seolah menantikan perkataan lelaki itu selanjutnya.

"Lo tau kan gimana dendamnya gue sama mereka. Gara - gara mereka Jen, Bobby masuk rumah sakit dan sekarat. Bahkan dia gak bisa ngikut UN tahun lalu. Gue gak terima. Dari awal, ini salah mereka-"

"Jadi salah sekolah gue, gitu?"

Hanbin membasahi bibirnya ragu. Memang benar salah sekolah Jennie. Tapi tidak sepenuhnya. Yang membuat masalah itu kelompok anak nakal. Tidak adil juga kalau menyebut keseluruhan murid Seoul 01 HS padahal mereka tidak berbuat.

"Apa susahnya sih berdamai?"

Susah Jen, sangat susah.

Jujur, Hanbin tak ingin membahas masalah ini lebih lanjut. Lebih ke tidak tahu mau menjawab pertanyaan Jennie seperti apa. Ia takut jika ia bilang tidak bisa berdamai malah akan memperburuk situasi. Ia pun memilih untuk mengalihkan topik.

"Sejak kapan lo dekat sama Taeyong?" Selidik Hanbin. Tercetak dengan jelas raut wajah tak suka di wajah Hanbin.

"Gue udah bilangkan, buat jauhin Taeyong. Jangan dekat - dekat sama dia. Lo lupa atau gimana sih."

Jennie kesal. Hanbin pun kesal.

Jennie tidak lupa dengan perkataan Hanbin mengenai hal tersebut. Sama sekali tidak. Tapi sebagaimana pun ia mencoba untuk menjauh, Taeyong selalu bisa memangkas jarak tersebut.

"Jennie. Mulai sekarang jangan dekat - dekat lagi dengan Taeyong. Pergi dan pulang sekolah bareng gue. Kalau lo minta temenin kemana - mana beri tahu gue aja. Ngerti?"

"Sejak kapan lo jadi overprotektif gini?"

"Sejak lo dekat dengan Taeyong."

"Kenapa harus Taeyong terus sih."

"Kenapa sekarang lo jadi ngebelain dia?"

Jennie diam. Menajamkan matanya menatap Hanbin lalu kembali berkomentar.

"Taeyong gak seburuk itu."

Hanbin mendengus mendengar penuturan Jennie. Tak seburuk itu? Jelas - jelas Taeyong sangat - sangat buruk.

"Lo tahu apa sih tentang Taeyong? Gue yang lebih dulu tau-"

"Kak Hanbin juga tahu apa tentang Taeyong? Kak Hanbin cuma taunya Taeyong anak berandal yang sering tawuran kan?"

Hanbin bungkam. Kemarahannya sudah di ubun - ubun. Kalau saja ia tidak ingat siapa yang tengah ia ajak biacara, sudah pasti orang itu akan di hujani caci maki Hanbin.

"Kakak lebih baik pulang. Istirahat. Gue juga mau istirahat."

Jennie memutar tubuhnya beranjak dari posisi. Bergegas masuk ke dalam rumah lalu mengistirahatkan diri. Hari ini Jennie begitu lelah. Baik raga maupun jiwanya. Namun baru tiga langkah, ia berhenti.

"Gue tegaskan sekali lagi, Taeyong gak seburuk yang kakak pikirkan." Ujar Jennie.

Tanpa menunggu respon dari Hanbin, Jennie masuk ke dalam rumah. Menutup pintu depan kembali seolah tak mengijinkan Hanbin untuk masuk ke rumah tersebut.

Hanbin pasrah untuk kedua kalinya di sore ini.

Niatnya untuk memperbaiki hubungan dengan Jennie belum tercapai. Jennie masih marah. Hanbin pun masih kesal.

Sepertinya mereka butuh waktu untuk mengistirahatkan diri sejenak.

Di dalam kamar, Jennie langsung menghempaskan diri di kasur. Menatap langit - langit kamar seraya mengingat - ingat apa saja yang telah ia lalui hari ini.

Jennie sendiri bingung. Kenapa ia jadi membela Taeyong di depan Hanbin.

Jennie saja masih belum sepenuhnya yakin dengan apa yang ia katakan tadi. Dulu memang Taeyong sangat buruk. Tapi sekarang, banyak hal yang berubah dari lelaki itu. Dari penampilan, sikap, dan diri Taeyong berubah.

Jennie pusing sendiri. Bagaimana cara ia menghadapi hari esok.

Dapat Jennie pastikan kalau besok akan menjadi hari yang begitu panjang.

Kepala Jennie berdenyut. Sakit mulai menjalar memenuhi kepala Jennie. Tampaknya Jennie terlalu keras memikirkan ini semua hingga migrennya kambuh.

Masih dengan seragam yang melekat dan sepatu yang terpasang, Jennie memejamkan mata berusaha untuk tidur. Melupakan sejenak apa yang telah terjadi hari ini.

bastard boy •• taeyong x jennie [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang