Duapuluhempat - tantangan

3.4K 505 9
                                    



Hari ini tepat satu minggu sejak kejadian bolos sekolah yang di lakukan Jennie dan Taeyong. Tepat seminggu pula Jennie enggan menemui Hanbin. Jika lelaki itu datang menghampirinya, Jennie memilih pergi atau diam. Entahlah, rasanya Jennie masih menyimpan dendam pada lelaki itu.

Hampir setiap hari Hanbin datang menjemput Jennie di rumahnya. Mengajak gadis itu untuk berangkat sekolah bersama. Namun Jennie menolak. Ia lebih memilih berangkat sekolah bersama adiknya-Haechan. Walaupun dengan resiko ia sering di hukum karena terlambat datang ke sekolah.

Pulangnya, Jennie memilih untuk menerima ajakkan Taeyong saat lelaki itu menawarkan tumpangan. Jadilah seminggu belakangan ia pulang sekolah bersama Taeyong. Tentu tak langsung pulang ke rumah. Biasanya mereka mampir dulu di warung makan untuk sekedar mengisi perut atau jalan - jalan di taman kota sambil menikmati es doger dan semangkuk batagor.

Jennie merasa Taeyong tak semenakutkan dulu saat awal - awal dirinya mengenal lelaki itu. Kini Taeyong terlihat lebih ramah dan menyenangkan. Membuat Jennie betah menghabiskan waktu berdua.

Pagi ini sekolah seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Semua seperti yang lalu - lalu.

Saat jam istirahat pun tetap sama. Hanya suara kebisingan dan nyanyian tak jelas yang muncul dari meja tengah kantin.

Taeyong bersama kawan - kawannya tengah duduk malas di bangku pojok kantin. Mereka tengah di landa kebosanan akan kegiatan belajar mengajar. Apalagi kini mereka sangat di tekan untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian dan tes masuk perguruan tinggi.

Taeyong menghela napas untuk kesekian kalinya. Kepalanya ia sandarkan pada dinding kantin dengan mata terpejam. Berbeda dengan Yuta dan Johnny yang tengah ribut main game di ponsel masing - masing. Kalau Jaehyun, dia lagi gabung bersama kawan - kawan Rose di tengah kantin.

Sebenarnya jam istirahat Taeyong tidak segabut ini jika saja ada Jennie yang menemaninya. Tetapi untuk hari ini, gadis itu izin tidak masuk sekolah. Rose bilang Jennie sedang ada acara keluarga.

Kegiatan gabut Taeyong terusik saat seseorang dengan tergesa - gesa datang menghampiri.

Dengan napas putus - putus ia menunjukkan layar ponselnya pada Taeyong.

"Gawat Yong. Darurat." Ujar lelaki bernama Ten itu sesampainya di samping meja Taeyong. Mendengar itu, Yuta dan Johnny ikut menoleh menatap layar ponsel yang tengah menampilkan chat seseorang.

Taeyong tampak melirik sekilas layar ponsel berwarna rose gold itu lalu berkata, "Hadapi." Balasnya singkat.

Mereka bertiga yang ada di meja tersebut tersentak kaget. Tak percaya pada jawaban santai yang Taeyong berikan.

"Lo gila Yong? Kita bentar lagi mau ujian. Lagian gak mungkin jam segitu kita bisa keluar kelas. Ada les tambahan." Protes Yuta tak sependapat dengan Taeyong. Johnny dan Ten mengangguk setuju.

Tak menghiraukan perkataan Yuta, Taeyong bangkit dari kursinya. "Kalau gue bilang hadapi, ya hadapi." Tegas Taeyong tak terbantahkan.

Setelahnya lelaki itu beranjak pergi meninggalkan Yuta, Johnny, dan Ten yang masih kalang kabut memikirkan jalan keluar dari permasalahan ini.

Taeyong tengah berdiri di halte samping sekolah masih dengan seragam yang rapi namun rambut berantakan. Jam pulang sudah berbunyi sejak tiga puluh menit yang lalu membuat halte yang biasanya ramai kini menjadi sepi.

Bukan tanpa alasan Taeyong berdiri seorang diri di sana. Ada satu niatan yang membuatnya rela meluangkan waktu untuk sekedar berbincang pada seseorang. Apalagi itu musuhnya.

Tadi saat jam pelajaran terakhir, Hanbin mengirim pesan kepadanya untuk menyempatkan diri mengobrol dengan lelaki itu. Sebenarnya Taeyong ingin mengabaikan pesan tersebut jika saja nama Jennie tidak terlampir di sana. Namun pada nyatanya, Hanbin membawa nama Jennie sebagai tolak ukur mereka.

Taeyong ngikut. Ingin melihat seperti apa rencana musuhnya itu.

Sepuluh menit berlalu barulah Taeyong melihat sebuah mobil hitam menepi di depan halte. Tak lama setelahnya Hanbin keluar dari dalam mobil masih mengenakan seragam sekolah.

Tanpa basa - basi, Hanbin langsung ke inti pembicaraan.

"Gue mau nantangin lo." Ujar Hanbin setelah berdiri tepat di hadapan Taeyong.

Mendengar penuturan Hanbin, Taeyong rasanya ingin tertawa. Tertawa mengejek lebih tepatnya.

"Nantangin gue? Yakin lo?" Balas Taeyong meremehkan. Sekali lagi, Taeyong memandang rendah Hanbin di depannya.

Hanbin hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia pun semakin mendekatkan diri pada Taeyong lalu melanjutkan perkataannya.

"Kita taruhan. Gue dan elo bakal adu fisik di lapangan blok 5. Sore besok. Gue tunggu pasukan lo."

"Kalau gue menang?"

Hanbin mendengus. Pede sekali orang ini.

"Kita gak pakai menang kalah. Tapi siapa yang bakal di pilih." Jawab Hanbin sambil melipat tangannya di dada.

Taeyong mengernyit bingung. Masih belum sepenuhnya mengerti dengan pola pikir Hanbin. Ia pun mengangkat dagu meminta penjelasan lebih.

"Aturan mainnya, siapa yang bakal di pilih Jennie, dia yang menang. Dan untuk yang kalah, dia gak boleh ngedekatin Jennie lagi. Deal?"

"Gue masih kurang yakin sama aturan main lo."

"Gue bisa jamin, Jennie bakal datang ke pertarungan kita. Dan disana, kita bisa liat. Siapa yang bakal Jennie pilih saat kita berdua dalam keadaan babak belur."

Taeyong mengangguk - anggukkan kepalanya mulai mengerti dengan alur permainan yang Hanbin ciptakan.

"Deal." Ujar Taeyong tanpa berpikir dua kali.

"Bawa pasukan terbaik lo." Ujar Hanbin sebelum beranjak pergi. Ia pun kembali masuk ke dalam mobil meninggalkan Taeyong di halte yang sepi.

Taeyong sedikit percaya diri sekarang. Dengan apa yang ia lalui bersama Jennie beberapa waktu belakangan, membuat Taeyong percaya kalau gadis itu pasti akan memilihnya.

Jennie akan memilih Taeyong kali ini.

Semoga saja.

Taeyong kembali berpikir. Ada satu masalah yang bersarang di benaknya kini. Anak mana yang akan ia angkut untuk pertarungan kali ini. Kawan - kawannya saja dominan menolak. Apalagi waktunya sudah dekat.

Ia harus segera mencari pasukan. Bagaimana pun caranya.

bastard boy •• taeyong x jennie [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang