Akhirnya, hari ini bisa kembali menghirup udara segar di sekolah.
Aku sangat rindu dengan suasana kelasku yang sangat bising meskipun ada guru.
"KILAAA! Gue kangen bangett!" Teriak Tasya dan langsung berlari memelukku.
"Hehe, Kila juga kangen kok, Sya."
"Lu udah sehat kan?"
"Seperti yang Tasya lihat."
"Hm, lu jangan kecapean yah." Ucap Tasya sambil menaruh tasnya di sebelahku dan langsung duduk.
"Awas lo!" Sambungnya."Iya bawel." Balasku.
"KILAAAAA!!!" Teriak Nadila yang hampir membuat jantungku terlepas.
"Kil, kita minta maaf ya?" kata Tasya padaku.
"Iya ngga apa-apa," balasku padanya.
Nadila memelukku sama halnya yang dilakukan oleh Tasya. Memang sahabat-sahabatku ini adalah orang yang sangat peduli padaku.
"Nad, biasa aja." Ketus Tasya pada Nadila, karena Nadila sekarang sedang menangis.
Nadila melepas pelukannya,
"Emang kenapa lu yang sewot? Gue kan kangen sama Kila," kata Nadila memuji dirinya sendiri.
"Gue juga kangen Nad, tapi ngga se alay lu," Balas Tasya.
"Hellowww Tasya Auriella! Apa kabar anda yang tiga kali bolak-balik nyuruh ditemenin ke koperasi untuk beli tisu?" Sindir Nadila.
"Beli tisu? Tiga kali?" Heranku.
"Iya Kil, asal lu tau ya, dia tuh nyuruh gue nemenin dia beli tisu tiga kali tau ngga." Nadila menampakkan jari telunjuk, tengah, dan manisnya bersamaan membentuk angka tiga.
"Dia nangisin elu, katanya kangen." Lanjutnya.
"Yeh! Daripada lu Nad, bolak-balik Rumah Sakit tapi sampe depan pintu ruangan Kila doang." Balas Tasya kembali.
"Emang iya, Nad?" Tanyaku tak percaya.
"Hehe, soalnya takut ganggu Kil. Jadi liatin lu dari luar aja." Jujur Nadila.
"Udah-udah, Kila juga kangen sama kalian." Aku memeluk kedua sahabatku melepas kerinduan mereka.
~°°~°°~
Aku berjalan seorang diri menuju ke toilet, tapi langkahku terhenti tepat di depan pintu toilet karena mendengar dua orang pria yang sepertinya sedang berdebat.
Aku tidak sengaja menguping pembicaraan mereka.
"Jauhin dia!" Bentak pria itu entah pada siapa.
"Gue ngga bakal nyakitin dia, Rifan! Gue bakal bahagiain dia semampu gue. Karena gue sayang sama dia."
Mendengar kalimat itu, aku sedikit menoleh, ternyata itu Kak Fandi dan Rifan.
"Berhenti lu ngomong itu lagi! Gue yakin lu tuh cuma pencitraan doang, iyakan? Emangnya lu yakin sama omongan lu barusan? Ingat! Apa yang dulu lu lakuin ke adik gue. Dan lu juga tau, Kila udah gue anggap adik gue sendiri! Jangan buat gue kehilangan orang yang berharga di hidup gue, plis! Jangan! Untuk ke dua kali." Ucap Rifan penuh penekanan.
Aku masih mengamati setiap kalimat yang mereka katakan.
"Hargai masa lalu gue, maafin gue kalau misalnya dulu gue udah ngerusak adik lu, dan buat adik lu frustasi sampe mutusin buat bunuh diri." Sesal Kak Fandi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Rasa
Teen FictionDua insan yang saling mencintai namun berbeda pendapat untuk mengungkapkannya. Diam tapi menyakitkan, atau pergi tapi takut kehilangan? Don't copy my story!