Aku dan Kak Fandi bergegas meninggalkan rumah sakit dan menuju ke parkiran.
"Emang lu alergi ya sama gulali?" Tanya Kak Fandi yang membuka suara.
"Ga sih kak, tapi Kila ga bisa makan yang manis soalnya kalo makan yang manis suka naik ke kepala da---"
"Dan lu ga bisa makan itu karena lu punya penyakit kanker?" Kak Fandi menghentikan langkahnya dan menoleh padaku.
Aku membungkam seketika, tentu saja Kak Fandi bertanya pada dokter tadi. Kenapa aku bisa lupa akan semuanya.
Saat ini aku hanya tertunduk, Kak Fandi adalah orang pertama yang mengetahui tentang penyakitku. Aku takut jika ia memberitahukan ini pada Papa.
"Kil, lu liat mata gue." perintah Kak Fandi mengangkat dagu ku untuk menatapnya.
"Apa orang tua lu tau?" Tanya Kak Fandi yang lagi-lagi membuatku ketakutan.
Aku menggeleng lemah,
"Kenapa?"
"Kak, Kila ga pernah mau ngebebanin Papa dan Kak Fero. Mereka udah capek kerja jauh-jauh bahkan sampai luar negeri dan keluar kota, itu pasti buat Kila Kak. Kila udah cukup ngerepotin Papa selama ini, dan Kila udah ga mau nambahin beban lagi. Kila ga mau liat Papa sedih, Kak. Pasti Papa juga bakal terganggu konsentrasi pekerjaannya."
"Jadi selama ini lu tanggung semua itu sendiri?" tanya Kak Fandi yang masih menatapku dalam.
"Kak, ini cobaan buat Kila, gimana Kila bisa berjuang, bisa mandiri, ngelawan semua sendiri. Kila harus sabar, kuat, dan Kila harus percaya, skenario Tuhan itu pasti indah Kak. Entah itu disini, atau di surga-Nya nanti," jelasku sambil tersenyum.
"Kila, lu bener-bener malaikat yang nyata, hati lu yang baik, wajah lu yang cantik, dan sikap lu yang dewasa, buat gue bahkan banyak orang diluar sana yang bangga sama lu, dan bahagia milikin elu."
"Makasih, Kak."
"Lu ga perlu khawatir, mulai sekarang gue bakal jagain lu, gue ga akan biarin lu sakit lagi, gue bakalan selalu merhatiin dan jagain pola makan lu, pokoknya semua urusan lu, sekarang urusan gue juga. Paham?"
Aku mengangguk paham, "Sekali lagi terima kasih kak,"
"Kak, tapi--"
"Lu tenang aja, gue ga bakalan ngasih tau ke Papa atau siapapun orang yang lu ga pengen tau soal ini,"
"Terimakasih Kak, Kakak udah baik banget sama Kila. Untuk kesekian kalinya Kakak buat aku percaya," Aku tersenyum senang pada Kak Fandi yang kini menatapku sendu.
"Yaudah, gue anterin lu pulang."
Aku mengangguk.
******
Aku berada di kamarku sejak sekitar 20 menit yang lalu. Aku mendengar bunyi sesuatu, yang pastinya dari ponselku.
Aku meraih benda pipih itu dan melihat layarnya, ternyata panggilan masuk dari Rifan.
"Halo, Ri?" Aku menempelkan benda pipih itu di telinga kananku.
"Lu dimana?" suara lantang Rifan terdengar dari seberang sana.
"Rumah kok, kenapa emang?"
"Tunggu disana, gue mau ke sebelah."
Tuttt...
5 menit kemudian Rifan langsung menghampiriku di kamar, memang ia jarang untuk mengetuk pintu, asal masuk saja. Yah maklum saja, Rifan memang begitu.
"kok muka lu pucat si?" Tanya Rifan yang kini tengah mengamati wajahku dengan teliti. Seperti sedang mendeteksi kuman lewat mikroskop.
"Kila gapapa kok Ri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Rasa
Teen FictionDua insan yang saling mencintai namun berbeda pendapat untuk mengungkapkannya. Diam tapi menyakitkan, atau pergi tapi takut kehilangan? Don't copy my story!