Rasa-8

270 13 2
                                    

Sejujurnya aku tidak percaya kalau Kak Fandi sebetulnya merokok, tapi, yah, begitu faktanya.

Saat aku meninggalkan kantin belakang, Kak Fandi mengantarku sampai di ambang pintu kelasku. Tentu saja, masih banyak pelajaran selanjutnya.

"Makasih, Kak." Aku menghentikan langkahku, lalu menoleh padanya.

"Yaelah, makasih mulu. Masuk sana."

Aku senyum, lalu masuk ke dalam kelasku.

Baru saja aku duduk, tiba-tiba Nadila dan Tasya menggodaku.

"Cie cie!" Ledek Tasya.

"Gimana?" Tanya Nadila, sungguh aku tidak mengerti.

"Gimana apanya?" tanyaku bingung.

"Udah jadian belum?" Tanya Nadila lagi.

"Hah?" tentu saja aku kaget mendengarnya.

"Wkwk, jujur aja, sukakan sama kak Fandi?" ledek Tasya.

"Sembarangan kalo ngomong,"

Aku langsung membuka bukuku dan mengabaikan mereka yang terus mengoceh.

Setelah beberapa menit, aku menoleh ke arah jam dinding yang posisinya di atas gambar presiden Pak Joko Widodo, di atas papan tulis.

Delapan menit lagi sudah bel pulang. Akhirnya, pulang juga.

Sedetik kemudian, ada seseorang yang masuk ke kelasku, dan meminta izin pada guru di hadapanku untuk memanggilku sebentar.

Saat berada di depan kelas, aku bertanya :

"Ada apa?" tanyaku pada cowok yang duduk tepat disampingku sekarang.

"Kenapa lu ga nungguin gue tadi pagi?" tanyanya sambil mempelototiku.

"Kila buru-buru." Aku terpaksa berbohong, sebenarnya aku hanya berusaha untuk menjauh dari Rifan.

"Terus? Lu bareng siapa?" tanyanya lagi. Rifan masih peduli, masih possesif atau hanya sekedar ingin tahu?

Apakah aku harus bohong lagi? Baiklah, untuk menjaga perasaan Rifan.

"Kila, naik ojek online." kataku padanya.

"Oh." Katanya, "Sorry gue ga bisa nganter lu pulang, soalnya--"

"Soalnya Rifan bareng Tifa? Iyakan?"

"Hm," balasnya sambil mengangguk.

"Yaudah, gapapa." Kataku, lalu izin ke Rifan untuk kembali masuk ke kelasku.

Bel pulang sudah bunyi, aku, Tasya, dan Nadila berjalan menuju ke halte depan sekolah.

Dan, tak lama dari itu, mereka sudah di jemput. Tinggal aku sendiri disini.

Sekolah mulai sepi, hari mulai sore, tetapi aku tidak tau akan pulang bersama siapa. Sampai akhirnya, aku berjalan menjauhi halte, mungkin aku akan jalan kaki saja pulangnya.

Aku menendang-nendang kaleng minuman di jalanan, dan sampai akhirnya aku mendengar suara motor yang semakin mendekat, dan berhenti tepat di sampingku.

"Mau pulang bareng?"
Aku menoleh ke sumber suara, ternyata itu teman Kak Fandi, kalau tidak salah, namanya Nandar.

"Ga usah kak makasih," Tolakku, lalu kembali berjalan.
"Yakin ga mau? Ini udah mau hujan loh!"

Aku menoleh, tapi ke langit. Benar juga, hujan sebentar lagi akan mengguyurku.
"Naik cepet!"

Saat di perjalanan pulang, aku sama sekali tidak membuka suara untuk menanyakan hal-hal tidak penting pada Nandar. Aku hanya mengarahkannya jalan ke rumahku.

Sebuah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang