25.4K 2.9K 135
                                    

Siapa yang pernah pacaran?

Siapa yang sudah buat rencana nikah awal tahun depan?

Siapa yang bikin tabungan bersama buat modal nikah?

Siapa yang siap lahir bathin ganti status di KTP, instagram, facebook, twitter, dan snapchat sebagai istri orang?

Dan...

Siapa yang ditikung orang terdekat tepat di hari Anniv pacaran?

Pertanyaan terakhir, jawabannya adalah aku. Yups, it's me thatーfakyuーidiot for two years. Percaya saja kedekatan pacar dan sepupu sendiri sebagai hubungan normal. Sampai satu waktu, aku mergoki mereka having sex di kost pacarku sendiri. Menurut pacarku ―yang sekarang sudah berstatus mantan pacar― dia dan sepupuku cuma saling mencari pelepasan.

Menolak jadi idiot lebih lanjut, aku meminta putus. Satu-satunya cara yang melintas di kepalaku agar secuil harga diri masih bisa dibanggakan. Harga diri nggak pernah jadi sarana pelepasan ala cowok bejad yang nekad menyetubuhi anak gadis orang.

Amit-amit ketemu cowok bejad itu lagi!

Yang namanya jodoh dan maut nggak pernah bisa diprediksi, aku ketemu lagi cowok bejad itu. Menyempurnakan semua kesialanku, si cowok bejad datang bersama sepupu bejad.

"Hai, Odie," sapa Ina, atau aku lebih senang menyebutnya ciwik doyan pelepasan bareng pacar sepupunya. Ya, dialah Ina pelakor Aulia. Anak perempuan dari adik mama yang secara resmi sudah aku coret dari daftar keluarga tercinta.

Responku menanggapi sapaan sok manis Ina cuma natap datar lalu buang muka. Pura-pura nggak kenal. Sorry, aku ogah ditempeli lintah kayak Ina.

"Bams, kita pulang yuk," ajakku pada Bams, cowok yang berhasil dibego-begoin Tiar buat jadi partner kondanganku.

"Kilau." Bams menahan lenganku lalu melirik melintasi pundakku. Pasti dia kemakan muka sok melankolis Ina. Dasar cowok, putih dikit langsung melempem.

"Aku mau pulang. Kamu masih mau di sini? Ya sudah, silakan," kataku enggan berlama-lama di sini. Yang penting persyaratan pernikahan sudah terlaksana, salaman sama kedua pengantin dan icip-icip prasmanan. Soal nyolong melati biar cepat laris, aku SKIP karena melati hiasan kepala pengantin wanita terbuat dari melati plastik.

"Bukan begitu, Kilau. Aku rasa-"

"Aku nggak ada urusan lagi di sini. Aku pulang!" Potongku cepat. Bahtiar benar-benar salah memilih cowok. Bams alias Bambang terlalu payah berhadapan Ina. Aku sudah akan beranjak dari kursi, tiba-tiba badanku terpental kembali ke kursi. Selain Ina, aku lupa masih ada si cowok bejad.

"Tolong dengarkan Ina," pinta Irfan si cowok bejad yang aku hindari. Mata Irfan kelihatan marah. Sabodo dia nggak suka terhadap sikapku ke Ina. Aku nggak sanggup tatap muka sama dua orang yang tikam kepercayaanku. Terlebih kami bertiga bukan tiga orang yang baru dikenal. Sejak orok, Ina kenal aku. Sejak SMP, Irfan tetanggaku. Berengsek akut dua orang ini.

Aku menepis tangan Irfan yang mencekal lenganku. Mendengar atau menulikan telinga untuk apapun yang coba dibicarakan Ina merupakan HAK AKU! Maka aku putuskan pergi dari situ. Nggak perlu pamit, nggak perlu menunggu Bams yang lelet, dan nggak perlu tunggu lima menit ... airmataku meleleh.

Move on susah banget sih!

・・・・・

"Irfan ada di resepsi saudara lo?" Tiar ngomong sekaligus muncrat kripik pisang. Mukaku kena sasaran liurnya. Jorok banget.

"Ya," jawabku setengah dongkol. Muka yang baru kelar maskeran malah kecipratan najis dari cowok yang sejak menetas adalah jomlo sejati se-Kemayoran.

"WOW! Benar-benar tebal muka si Bejad. Sudah tahu lo pasti bakal nongol di sana dan dia masih berani jadi pendamping Ina. Kalau lepas keperjakaan memang lepas urat malunya," dumel Tiar. Tangannya balik lagi menginvasi toples kripik pisang punya bapak. Aku mau patahkan teori tanpa riset ala Profesor Tiar yang ngaco tingkat langit. Nggak perlu lepas keperjakaan dulu baru urat malunya lepas, nyatanya Tiar yang perjaka ting-ting sudah hilang urat malunya sejak tadi. Yakali dia bikin toples diameter 30 senti yang penuh kripik jadi sisa setengah. Itu patut disebut malu-maluin.

"Gue zero pengetahuan gimana hubungan Ina dan Irfan. Mau mereka jadian kek, tunangan kek, bahkan tekdung sebelum nikah pun gue nggak mau tahu. Gue bakal bersikap selayaknya stranger di depan mereka. Hati gue terlanjur sakit, penghianatannya nggak kira-kira memang dua bejad itu." Aku memilih menyandarkan badan pada tembok teras belakang. Sejam lebih aku dan Tiar menghabiskan sore dengan bergosip soal kondangan semalam. Tiar awalnya mau marah karena aku main tinggal pergi si anu, siapa itu teman Tiar yang mendampingiku kondangan. Herlambang ya? Apa Bastian? Apa Bani? Ya, cowok itu lah pokoknya. Dari situ aku jelaskan kronologia kondangan mengiris luka lama. Tiar prihatin (sekaligus ambil kesempatan makan kripik seenak udel) padaku.

"Cari cowok lain lah."

"Kalau ada, sudah dari kemarin gue tenteng ke sana ke mari. Pesona gue susah ditangkap radar cowok biasa," sahutku yang makin lemes mengingat status single nyaris setahun.

"Gue nggak mungkin nyodorin teman kerja gue. Yang ada lo dumel dapat cowok bengkok." Tiar ini bekerja di salah satu majalah fashion ternama di Indonesia. Kebanyakan temannya adalah pengamat fashion dan wartawan. Terakhir aku dikenalkan cowok sebagai target operasi 'Kilau Mencari Pacar', aku tertohok fakta si mamas ganteng sukanya yang ganteng juga. Ngenesnya berkali lipat.

"Gimana ya caranya dapat pacar dunia-akhirat? Nggak betah gue dengar nyinyiran keluarga. Gue belum tua banget buat dikasih gelar tante girang tapi nggak muda juga buat dipanggil cabe-cabean," keluhku lebih ke diriku sendiri.

Tiar memutar badannya menghadapku. Yang mana dari tadi kami hanya duduk bersisian menghadap pohon mangga yang jarang berbuah. "Ini sekadar saran. Boleh lo jalani, boleh juga lo cuekin. Asli, gue nggak maksud sok nasi-"

Aku membekap mulut Tiar. Mataku menatapnya serius. Jeleknya Tiar saat memberi solusi tuh begini, kebanyakan intro. Belum sampai penyampaian solusi, aku telanjur molor. "Ngomong saja langsung. Nggak usah pakai berbelit-belit. Lo mau kasih saran apa?"

Tiar menepis tanganku. Cengiran lebarnya membuatku berdecak sebal. Cowok satu ini memang selalu punya cara membuatku sebal dan senang sekaligus. Sebal karena metode penyampaian solusi yang berbelit dan senang otaknya difungsikan untuk kasih satu saran yang bisa jadi sangat bermanfaat bagiku.

"Lo butuh Me Time. Lupakan soal nyinyiran orang lain. Fokus ke diri lo." Tangan Tiar bergerak membentuk lingkaran imajinatif yang membingkai diriku.

"Lebih detail."

"Sedikit perubahan, mungkin membantu lo lebih lepas dari tekanan lingkungan. Coba aktivitas yang nggak biasa lo lakukan," lanjut Tiar.

"Contohnya?"

"Apa yang belum pernah lo coba?"

Keningku mengerut mengingat aktivitas apa yang sangat ingin aku lakukan dan belum tercapai. "Ah! Panjat tebing!" Seruku.

Tiar geleng-geleng. "Nyokap lo nggak bakal kasih izin," putus Tiar mengakibatkan muka ceriaku luntur ke lantai. "Gimana kalau panjat dinding."

"Wadefak?"

###

02/04/2018
Re-publish 16/01/2019

Cerita ini udah ketebak endingnya di komentar part lalu. Kaget banget tapi senang. Seenggaknya ada yg memerhatikan tag dan blurb yg dibikin. Aku bakal ketik cerita yg udah ketahuan ujungnya tapi nggak jelas prosesnya 😥 agak aneh2 gimana ya bikin cerita begini.

Kayak mengulang proses bikin Kimdut, udah pada tahu ending tapi nunggu alur sampai ke akhirnya.

(sekarang gw makin ngakak 😂 bisa-bisaan part ini pake POV1 dan tetap alay. Duh aduh, dimana kesadaran gw pas ngetik)

GabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang