Panjat dinding yang diusulkan Tiar memang betul-betul dinding. Pembeda dari simulasi panjat tebing yang biasa kita lihat adalah ―biarkan aku tarik napas, huft― ini dinding asli. Dinding betulan, dinding yang dinaungi atap, dinding yang menempel pada lantai ubin, dinding yang ada pintu dan jendela, dinding yang bisa digetok paku terus dimanfaatkan sebagai cantolan baju. Ketika aku menghayal bakal pakai alat pengaman dan tali yang membantuku memanjat, Tiar memusnahkan imaji ciwik ibukota dengan fakta tangga bambu. Tangga bambu banget! Di era serba melek teknologi, di lokasi yang harga tanah per meternya tiga juta, di kala AKU mengalami kegalauan akut usai bertemu mantan dan sepupu bejad, Tiar memaksaku naik sekaligus menyodorkan genting merah.
"Bisa nggak, Andi Lau?" Teriak Tiar dari bawah.
Inginnya aku pakai genting yang aku pegang untuk menimpuk si pelontos. Kurang ajar memang Tiar, dia menjebakku mengganti genting rusak pada atap rumah Nyak Imin. Alasannya, rumah Nyak Imin si nenek paling dihormati se-RW sudah sangat rapuh. Badan bongsor Tiar berpotensi menyebabkan rumah roboh. Anjay banget punya sahabat yang otaknya se-gesrek ini. Aku tuh ciwik gemulai idaman mertua (in my dream), malah disuruh mengerjakan tugas beban dunia-akhirat begini. Tahu sendiri nolong nenek sepuh yang membawa sejarah Kemayoran adalah amal yang mempermudah masuk surga. Seandainya hasil kerjaku mengakibatkan rumah Nyak Imin tambah bocor sama saja menyusahkan Nyak dan memperpanjang daftar dosa. Gimana kalau Nyak Imin nggak terima hasil kerjaku lalu kirim kutukan atas nama orang teraniaya, ambyar masa depanku menjadi istri solehah. Sebab, perawan yang nggak becus kerja, nyinyiran yang dilayangkan nggak jauh dari kalimat, 'gimana bisa jadi istri orang kalau kerja saja nggak beres'.
"Andi Lau, jangan bengong. Beresin kerjaan lo!" Teriakan Tiar makin sok nge-boss.
"Naik saja sendiri kalau lo bisa, jangan ganggu konsentrasi gue," hardikku. Dongkol.
"Sorry, dek Kilau. Tolong kerjanya yang rapi ya. Nyak Imin ajak makan siang, mau makan nggak? Lelet banget. Keburu sore, kalau hujan berabe, ." Barusan aku bilang jangan ganggu konsentrasiku, dia malah nyerocos terus.
"Diam, bawel!"
"Marah si dedek." Tiar terbahak di bawah. Mengapresiasi kebahagiaan Tiar berhasil mengerjaiku, aku timpuk dia pakai sendal Swallow. Jeritan adoh dan umpatan mengalir lancar dari mulut Tiar. Memang enak kepala pelontosnya kena cium alas sendal.
***
"Mbak Kilau, ini suratnya antar ke siapa?" Gito, OB di kantor tempatku bekerja bertanya setelah aku menyerahkan setumpuk amplop cokelat ukuran A4. Pekerjaan OB di sini harus multitasking. Sebenarnya rata-rata tugas OB, antar surat, fotokopi, bikin kopi, siapin ruang meeting. Yang spesial adalah OB bisa jadi GA, menginventaris barang-barang. Kadang jadi sopir dadakan, bantu rekap absen, dan teranyar ialah OB bisa menggantikanku sebagai resepsionis. Perusahaan start-up seperti ini memang memanfaatkan hingga tetes darah terakhir karyawannya.
"Sudah saya kasih catatan dirujuk ke siapa. Baca post-it yang yang saya tempel ya." Aku punya segudang email yang mesti aku periksa daripada menjelaskan ngalor-ngidul. Post-it beneran berguna saat mulut malas berkoar.
"Oke deh, mbak. Saya pamit ke kantor pajak ya habis antar surat-surat ini."
"Mau apa ke kantor pajak? Lapor SPT?"
"Bukan."
"Terus?"
"Pak Wahyu titip beliin makan siang buat istrinya."
"NGGAK USAH! KERJAIN YANG LAIN AJA!"
Supervisor gesrek memang si Wahyu. Yakali OB sini disuruh beliin makan siang bininya yang bukan karyawan sini. Dikira OB kantor sebagai pembantu bersama kali, ngajak ribut banget.
"Oh, nggak usah ya, mbak?"
"Nggak usah. Sana antar suratnya terus kamu ke sini, bantu saya cek inventori ruang meeting Tulip. Kalau Wahyu mau marah, bilang saya yang larang kamu pergi ke kantor pajak. Kalau mau antar makan siang istrinya pakai jasa yang lain. Kamu mau saya adukan manajer HR karna kabur saat jam kantor?"
"Jam istirahat, mbak," koreksi Gito.
"Tapi kamu terima tugas yang bukan kewajiban kamu. Pokoknya nanti saya adukan kamu dan Wahyu ke manajer HR," ancamku. Gito pias.
Ancamanku berhasil, dia menuruti perkataanku.
Pekerjaanku begini tiap hari. Biarpun sebagai resepsionis, aku nggak bisa anteng terima telepon say 'hallo, Kilau's speaking, can I help you' doang. Aku harus mengatur penggunaan ruang meeting biar jangan sampai terjadi war antar department yang butuh pakai. Aku juga harus update schedule para top management, jadi sewaktu ada tamu, aku sudah mempersiapkan jawaban. Bahasa kewrennya, ready to serve. Flow barang dan surat-menyurat datang juga harus di bawah pengecekanku. Rekap absen juga sebab mesin finger scan ada di atas mejaku. Pengen banget aku banting ini mesin."Kil, lo mau makan mi ayam?" Frankie yang nama aslinya Fransiska dan berjenis kelamin ciwik tulen―sejak lahir, Thank God―datang mendekati mejaku.
"Mi ayam banget?" Mataku memindai penampilannya sekilas. Tambah kinclong saja Frankie dalam tiga bulan ini. Nggak percuma dia keluar-masuk salon dan mengganti gaya berbusananya. Lebih dari dua puluh orang yang memuji penampilannya kini. Berbanding terbalik dengan dia empat bulan lalu yang urakan. Frankie ini blasteran Manado-Jerman, wajahnya serupa Tamara Bleszinski pas masih dua puluhan. Sayang sekali kalau menyia-nyiakan wajah cantik tanpa perawatan. Meski blasteran, jerawat, komedo, pori besar, dan wajah kusam bakal tetap menyerang. Jadi waspadalah, waspadalah.
"Gue lagi ngidam mi ayam. Mau nggak? Mumpung gue mau ketemu calon tenant nih." Nikmat memang pekerjaan Frankie, marketing staff bisa kelayapan di jam kerja tanpa khawatir kena tegur atasan.
"Boleh deh."
"Sekalian sama mamas ganteng nggak?" Goda Frankie sambil kedip genit. Jijay bajay banget tingkahnya.
"Boleh kalau si mamas gajinya di atas tiga puluh juta," jawabku nggak kalah ngaco.
"Santai, unit yang siang ini gue tawarin sewa bulanannya tiga belas juta di luar tetek bengek. Kebayang kan gimana mantap aliran rupiah tuh orang." Mata sales sejati milik Frankie langsung binar-binar penuh khayalan. Kadang gosip merebak soal Frankie yang selain melakukan jasa pemasaran jual dan sewa unit apartemen, Frankie juga memberikan jasa entertainment kepada kliennya.
Gosip divisi marketing yang marak di perusahaan ini ya nggak jauh-jauh dari entertaining klien demi mencapai target. Mau sales cowok atau ciwik. Ada yang bilang, side job sales marketing properti. Aku berusaha berpikiran positif, Frankie yang bagaimanapun itu adalah Frankie yang berdiri di depanku. Entah benar atau salah gosip itu, aku ambil sikap netral. Nggak mengurusi apa yang di luar teritoriku. Bukannya cuek pada lingkungan, ada masanya, kita perlu menjaga batasan. Jangan kelewat kepo sampai stalking IG si anu lalu komen nyinyir seolah-olah paling benar.
"Kalau umurnya di bawah tiga puluh tahun, kenalin gue ya," sahutku. Klien Frankie memang nggak main-main, kemarin dia gol menjual unit penthouse di Kemang. Bonusnya jelas gila-gilaan.
"Santai. Gue cek deposito, giro, saham, harta bergerak, dan non bergeraknya dulu."
"Semprul!"
"Hahahaha."
###
05/04/2018
Re-publish 17/01/2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Gabble
ChickLitLulus kuliah, nyari kerja, pacaran, umur 25 tahun menikah. Sempurna! Kilau Odelia menata rencana hidupnya se-mainstream itu. Dia nggak butuh hidup muluk nemu cowok level hawt mampus yang bisa bikin wanita menggelepar. Atau anak milyuner minyak asal...