十九

8K 1.3K 34
                                    

Bahtiar menyambutku dengan senyum sumringah begitu melihatku datang berkunjung. Malam ini suasana rumah Bahtiar cukup ramai karena adiknya tengah memboyong geng SMAnya bermain di ruang tamu. Bahtiar menggiringku ke warung bubur langganan kami yang berada di ujung gang, berjarak seratus meter dari rumahnya. Aku setuju. Euforia pulang kampung khas anak norak bernama Kilau Odelia masih berlanjut setelah tur lebay ke jajaran tukang makan dekat Hermina Podomoro yang berkembang ke sekitaran Pasar Baru. Susah memang menahan gejolak kangen yang memasuki tahap ngidam ingin balas dendam jajanan kesukaan dekat rumah.

"Gimana kabar kerjaan baru?" Tanya Bahtiar setelah menerima uluran semangkok bubur kacang hijau. Bahtiar masuk kubu bubur jangan diaduk, sebab itulah dia memesan seporsi bubur kacang hijau saja dan seporsi bubur ketan hitam saja. Soal bubur ayam pun sama. Dia makan tanpa mengaduk topping buburnya. Malaslah menanyakan alasannya, namanya selera susah digugat.

"Seru," jawabku jujur. Mengingat rumah besar di daerah elit itu lebih sering dikuasai olehku dan para hewan peliharaan jelas sebuah keuntungan besar. Boleh dibilang akulah bos, kecuali kelakuan Baginda Raja Shuu pakyu, selebihnya oke.

"Yakin?" Bahtiar bertanya sambil menerima mangkok keduanya yang berisi bubur ketan hitam.

"Beneran," kataku meyakinkan. Aku menyendok bubur ayam dan mengunyah asal sebelum melanjutkan, "Gue kerja sendirian, tapi pekerjaan gue jelas tiap hari. Bos gue nggak ribet. Yang menyusahkan hanya peliharaan bos saja. Eum, nggak semua sih. Cuma Shuu doang yang ribet."

"Shuu? Siapa?"

"Oh ya gue belum cerita. Jadi bos gue punya beberapa peliharaan. Satu anjing, satu kucing, dan geng kukuruyuk lima ekor. Anjingnya pemalas banget. Ayam-ayamnya normal kayak ayam kampung biasa. Nah, kucingnya itu namanya Shuu. Sumpah itu kucing manja banget. Makannya banyak dan suka pilih-pilih. Hobinya kencing ke perabot. Duh, kerjaan gue nambah tiap dia berulah menyebar Shuu's signs." Aku terbawa emosi menggambarkan hari-hari perangku dan Shuu.

"Kil, lo lagi bahas kucing?" Bahtiar bertanya dengan tampang kayak bocah baru belajar ngomong.

"Kan tadi gue cerita Shuu itu kucing. Lo yang nanya siapa Shuu," sahutku geli. Kocak memang bagaimana Bahtiar suka lebay mengatur ekspresi.

"Iya, sih." Bahtiar tertawa garing. Dia kelihatan sekali malu. "Gue kaget lo belum mengeluhkan pekerjaan lo di chat. Jadi gue pikir Shuu ini ... ya, lo paham, kan?"

"Kan gue bilang peliharaan bos gue, Botak. Lo kemana sih kupingnya?" Aku tertawa.

"Gue kayaknya mikir kejauhan dengar lo sebut kata 'peliharaan'. Maap deh."

"Emang lo mikirnya apa?"

"Yang itu." Bahtiar menggerakan jari telunjuk dan tengahnya membentuk lambang kutip.

"Nggak paham gue," kataku.

"Peliharaan yang bukan hewan."

"Oh, itu..." Aku jadi salah tingkah sendiri. Baru paham maksud Bahtiar mengenai 'peliharaan' ialah selingkuhan atau teman kencan sesama jenis, atau semacamnya. Kami sedang di warung tenda bubur, mana bagus topik peliharaan yang bukan hewan terdengar orang lain.

"Gue rasa Keita tipe straight. Dia pernah bahas un..." Jaga mulutmu, Kilau! Aku memperingati diri agar nggak melanjutkan ceritaku atau Bahtiar dan kecerdasannya akan melanglang ke pelosok dunia lain. Jangan sebut 'underpant'ーyang pernah dibicarakan Keita.

"Apaan?"

"Itu," ngibul adalah tambahan nama tengahku setelah bisa membohongi Mama Fenita dan Bapak Syarif Hidayatullah soal pekerjaan, jadi mari sedikit berbohong, "Keita sudah punya pacar dan mereka mau menikah. Jadi lo nggak usah khawatir Keita bakal aneh-aneh ke gue. Ceweknya cantik banget mirip boneka. Putih, mungil, cantik, lucu, dan imut. Mustahil dia nengok gue kalo punya cewek kayak begitu. Analoginya, sudah punya Mercedes terbaru ngapain beli mobil angkot produksi tahun sembilan puluh."

Bahtiar mengangkat sebelah alisnya dan mengunyah lambat-lambat bubur dalam mulut. Aku tegang di tempat. Dalam hati, aku berdoa jangan sampai Bahtiar berpikir ngaco. "Oke," katanya. "Gue rasa kerja di sana nggak buruk. Akhirnya lo sadar muka pas-pasan lo memang selevel angkot produksi tahun sembilan puluh."

Wanjay, niat hati mengarahkan persepsi Bahtiar ke mana, malah nikung ke lain arah. Aku mendesis sebal dan botak di sebelahku terbahak.

"Soal mantan dan sepupu gimana?" Bahtiar dan kepo adalah ikatan dalam struktur neuron di otak. Kalau sampai lepas satu, maka dia bukan lagi manusia normal.

"Ya, nggak gimana-gimana."

"Jawabnya serius dong. Gue tahu lo ambil kerjaan sekarang karena mau kabur dari kehebohan lo bongkar kebejatan mantan dan sepupu yang ditonton keluarga. Ada kelanjutan apa sekarang? Udah baikan?"

Woo.. enak saja baikan. Hati ini dua minggu lalu masih mendendangkan lagu Kau Yang Tlah Memilih Aku. Lalu sekarang sedang asyik bernyanyi lagu Kamu Ketahuan. Boleh dibilang ini masaku balas dendam. Ya, meski jujur dampaknya nggak baik untuk hubungan keluarga kami.

"Bahtiar." Ini waktunya masuk ke dalam deep talk. Buang jauh-jauh small talk dan aku akan serius menyikapi pertanyaan Bahtiar. "Mungkin karena lo bukan cewek jadi lo kurang paham kalo spesies kami bukan membutuhkan kata 'maaf' untuk berbaikan, tapi waktu. Membiasakan suatu situasi dimana kita jadi korban bukan hal mudah, kami bekerja dengan memfungsikan perasaan lebih besar dari otak. Jadi, gue nggak mau bersikap muna dengan bilang 'oke, gue maafin lo dan jangan diulang.' That's totally bullshit. I can stand there and forgive them easily. It takes time to reconcile everything they brake. Nyokap minta gue berbaikan sama sepupu dengan alasan keluarga. Gue hanya bisa mengiyakan tapi dijalaninya susah. Orang bisa sebut gue gagal move on atau kurang tangguh. Semua orang bebas menilai gue tapi gue yang diposisi ini, bukan mereka dan jugaーsorry, Tiarーbukan lo. Can we deal to stop this topic? Gue butuh waktu."

Kami terdiam lama. Sejenak melupakan siapa saja pendengar pembicaraan ini selain kami. Namun aku yakin Bahtiar pun berpikir yang sama bahwa kami nggak bisa menunda pembicaraan ini demi mengganti tempat yang lebih sepi. Suasananya pasti sudah berubah dan aku nggak akan bisa sejujur saat ini.

"Well, Andy Lau, forgive me," kata Bahtiar terdengar tulus.

"Tumben inget kata maaf," ledekku yang berusaha memecah suasana kaku yang merangkak.

"Nggak bisa banget dibaiki ya? Bayar bubur lo sendiri."

"Ye, enak aja. Lo yang ajak ya lo dong yang bayarin gue."

"Gaji nambah masih minta traktir? Nggak berkah kerja lo. Harusnya lo yang bayarin gue sebagai best friend lo."

"Botak pelit! Banyak alasan!"

"Gue nggak botak. Lo nggak liat ada rambut nih?"

"Itu botak!"

"Ini rambut, Andy Lau!"

"Shuu punya bulu lebih panjang."

"Wah nyamain gue ama kucing. Tega lo."

Dan pertengkaran kami pun berlanjut hingga tanpa sadar telah bergeser ke pembicaraan lain. Aku harus mencatat nama Bahtiar dalam jadwal pulang kampungku dua minggu ke depan. Mama, Bapak, dan Bahtiar adalah tiga orang penting yang harus masuk dalam pertemuanku saat pulang berikutnya.

###

13/11/2019

GabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang