二十二

8.4K 1.4K 91
                                    

Pengumuman!
Aku sepertinya ingin cuti dari cerita ini lagi. Kalo kamu masih mau baca cerita ini, bantu aku dapat vote sampai 1K.

Selamat membaca. Semoga kamu dilimpahkan kebahagiaan selalu.

Aku sedang membereskan remah bekas makanan Baginda Raja Pakyu sewaktu Frankie menelepon, mengajak makan Pizza. Awalnya aku menolak. Iya, dong harus ditolak. Aku dalam tugasーmenjaga rumah Keita dan seisinya. Aku nggak mungkin kabur ke warteg depan lagi untuk ngobrol bareng Frankie saat bos pakyu masih melek dan leha-leha di atas sofa. Shuu bisa jadi menginvasi lebih banyak perabot dengan bau khasnya itu.

"Halo! Kilau!"

Ketika aku berpikir Frankie menerima penolakanku, ternyata oh ternyata, dia nongol di depan gerbang dan meneriakan namaku. Aku berlari panik untuk membukakan pintu gerbang.

"Kenapa ke sini?" tanyaku, begitu Frankie melewati gerbang.

"Karena lo nggak bisa keluar, so gue yang datang. Gue bawa big box." Frankie mengangkat boks pizza sambil tersenyum lebar. Aku tertular.

"Gue belum izin Keita kalo lo mau main ke sini," kataku.

"Gue kenal Keita. Keita juga kenal gue. Berarti kami berdua acquaintances. Ye, kan?" Teori Frankie terbukti ngaco menilik asal-muasal Keita yang penuh etiket, berkebalikan kami yang sering terobos peraturan. Aku dengar, orang Jepang harus izin dulu loh sebelum mengikuti sosmed orang lain.

"Gimana kalo Keita nggak suka kedatangan lo?" Kemungkinan ini besar sekali dan aku malas terjebak masalah yang ditimbulkan.

"Kalo lo dipecat, kerja sama bos gue aja." Frankie menarik lenganku ke rumah. Dia benar-benar lupa siapa yang punya kuasa mengizinkan masuk. "Rumah ini asri banget. Keita pasti bosnya bos sampai dapat fasilitas sebagus ini dari kantornya."

Aku ingin jawab, kebetulan Keita cucu yang punya perusahaan, tapi menelan balik karena Frankie bisa memperpanjang topik itu. Belum tentu Keita menerima jika statusnya tersebar. Atau jiwa marketing Frankie beraksi dan menjadikan Keita sasaran karena dianggap kompeten menyewa duplex di Senayan.

"Lo tumben ke sini. Pekerjaan lancar. Eh, tadi lo bilang gue bisa kerja sama bos lo. Itu gimana maksudnya?" Aku mencecar Frankie.

"Satu-satu dong nanyanya." Frankie meletakan boks pizza di atas meja ruang tamu. "Kucing itu lucu banget. Peliharaan Keita?"

Aku melirik Shuu yang masih tiduran di sofa sambil memantau aktivitas kami. "Anak Keita tuh," kataku becanda. Aku menuju dapur, mengambil sebotol air dingin dan dua gelas. Saat kembali Shuu dan Taro sudah duduk dekat Frankie yang canggung.

"Mereka kenapa ya?" Frankie melirik kanan dan kirinya dengan risih. Ada Shuu dan Taro yang terang-terangan menunggu boks pizza dibuka.

Beneran deh, menghabiskan waktu lama bersama mereka, aku jadi paham sedikit banyak isi kepala mereka. Terutama kemampuan indera mereka mencium makanan enak. Keita biasanya jadi korban celamitan mereka yang sering datang tepat sebelum Keita menyuap makanan.

"Mereka mau makanan yang lo bawa. Bagi sosisnya deh." Aku membuka boks dan menyerahkan masing-masing sepotong. Taro melahap sosis yang aku letakan di meja. Shuu melirikku ketus, lalu turun sofa menuju piring makannya yang ada dekat situ. Aku mendesah. Khas Baginda pakyu banget, pikirku. Aku membelah sosis lebih kecil dan menaruhnya di piring. Dia makan nggak sabaran, tapi aku nggak mungkin menyodorkan sosis utuh ke Pakyu yang biasa dilayani. Keita sudah terang-terangan mengingatkan bahwa si Pakyu hanya bisa makan makanan yang sudah dipotong kecil-kecil. Kalau terlalu besar, bisa tersedak. Selain itu, tidak boleh ada tulang di makanannya. Hanya kucing obesitas ini yang hidup bisa hidup leha-leha bak raja sungguhan.

Aku bergabung bersama Frankie setelah mencuci tangan. Taro sudah kembali tiduran dan Shuu beranjak ke teras. Frankie menuang air ke masing-masing gelas.

"Ayo cerita, ada yang seru apa di kantor lo?" tanyaku sembari mencomot sepotong pizza.

"Nggak ada yang seru di kantor. Gue datang karena kepo sama kondisi lo. Kemarin pulang ke rumah gimana. Ketemu mantan bejat dan sepupu setan, nggak?"

"Sayang sekali, kedatangan Anda sia-sia. Gue nggak mengalami drama apapun selama di rumah. Tapi hubungan nyokap ke Bibi Tya masih canggung," jawabku. "Balik dong ke yang lo omongin tadi. Gue bisa kerja sama bos lo?"

Frankie mengangguk mantap. "Dia bos paling gila. Semua karyawan dari kantor kita ngaku, pecah rekor lemburan sejak dipegang dia. Late minutes, ngajak meeting dadakan. Work habit kita juga berubah mengikuti Torrent soalnya kebanyakan karyawan mereka pantang pulang sebelum tembus jam delapan. Dampaknya lumayan berasa."

"Apaan?"

"Banyak karyawan yang dari ex perusahaan kita resign." Frankie minum, lalu melanjutkan, "Calon kursi kosong bertambah bulan depan."

"Gile ya." Aku menggeleng takjub.

"Makanya gue mau coba majuin nama lo ke supervisor gue. She's good loh."

"Oh, ya?"

Frankie menangkup kedua tangan depan dada. "Gede susunya."

Aku dan Frankie tertawa. Mengingat berapa banyak om-om otak cabul di kantor, tambahan karyawan cantik bersusu besar pasti jadi topik obrolan mereka di smoking area.

"Lo pantas betah di sini," kata Frankie lagi.

"Kenapa mikir gitu?"

"Rumah gede, lo yang menguasai."

"Emang," jawabku pongah, lalu menggigit pizza. Pekerjaan itu bukan dilakukan karena orang lain akan melihat kita WOW. Pada faktanya, banyak pekerjaan yang membuat orang-orang dipandang WOW, tapi mereka nggak punya waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Aku sudah pernah di posisi itu. Keluar masuk menara pencakar langit dalam pakaian kece, tapi gajiku kembang kempis, dan berujung didepak saat perusahaan sekarat. Aku nggak bilang kerja di tempat Keita lebih baik. Kan sudah aku katakan, pekerjaan ini nggak mencukupi kebutuhan aktualisasi diriku. Aku memang akan hengkang suatu saat nanti. Aku harus menemukan pekerjaan lain yang lebih sesuai, bukan cuma di mata orang, melainkan memenuhi kebutuhanku keseluruhan.

"Tapi Keita baik." Aku membekap mulut. Keceplosan macam apa ini! Aku menjerit dalam hati.

Frankie menyeringai. "Gue tahu ada alasan di balik alasan lo terima pekerjaan ini."

"Duit lah," kataku.

"Jadi bos baik, ganteng, kaya, dan kebetulan belum menikah bukan alasan di balik alasan?"

"Jangan ngaco!" Aku mengibas tangan. Terpaksa aku memainkan kebohongan yang aku lempar ke Tiar beberapa hari yang lalu. "Keita punya pacar cantik, putih, mungil. Mirip boneka."

"Terus?" Frankie mengangkat sebelah alisnya menantang.

"Ya," aku kelabakan, "Keita's out of my league."

Frankie mengangkat kedua bahu enteng. "Cinderella bertebaran di dunia ini. Terlalu banyak bukti eksistensi cinta melompati sudut pandang subyektif manusia."

"Nggak akan," tolakku yakin.

"Ada reporter jadi istri presiden." Frankie dan kemampuan otaknya yang sering menyerap berita untuk bahan debat mulai muncul.

"Lo bahas reporter bule yang dari lahir hidung mancung, kulit putih, dan sekolahnya bukan menghapal tapi diskusi jadi serabut otaknya difungsikan lebih maksimal dari gue." Teori Frankie mental.

"Putri Diana dan-"

"Frank, please, lo mulai berlebihan," kataku memperingati. "Mending nonton Netflix."

"Kebetulan banget. Gue baru habis nonton apa itu..." Frankie melotot tiba-tiba. Tatapannya melewati bahuku. Otomatis aku memutar kepala, mencari alasan Frankie sekaget itu.

###

17/10/2020

See you 1K⭐

GabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang