Mobil apa yang ada di atas pohon?
ーーー
Mobil-ang daun, mobil-ang ranting, mobil-ang buah, mobil-ang layangan tetangga yang nyangkut.Bahtiar hanya mengedip usai aku bercerita kronologi pertemuanku dan mantan bejad sampai aku mengucap deal pada tawaran Keita. Lewat sepuluh detik dan mulut bawel si botak belum bekerja. Ini patut dianugerahi piring selusin andaikan Bahtiar sanggup mingkem sampai semenit.
"Kil," Bahtiar menyebut namaku seolah dia ragu.
Ah, sayang sekali sodara-sodara, Bahtiar gagal mendapatkan selusin piring. Mulutnya bercuap pada hitungan ke-38. Dasar polower Lambe, jelas susah menahan gejolak ingin berkomentar.
"Lo sadar, kan, situasi lo tambah runyam?" Bahtiar menatapku serius.
"Nggak. Gue ngerasa sebaliknya. Gue ngerasa bebas, berhasil mengeluarkan unek-unek gue. Terus gue dapat bonus kecil. Orangtua Ina tahu perbuatan anaknya selama ini," jawabku penuh kepercayaan diri.
"Kil, keluarga lo tahu bukan dengan cara baik-baik-"
"Lo mau bela Ina?" Sentakku. Ini Bahtiar kadang kurang banget pengertiannya. Aku loh temannya, bukan Ina. Ok, mereka saling kenal, tapi tetap saja aku dan Bahtiar yang akrab. Seharusnya Bahtiar memihak padaku, bukan ke si penyedot kebahagiaan model Ina si sepupu setan.
"Aduh, bukan, Andy Lau. Gue cuma menyampaikan pendapat gue sebagai orang luar. Menurut gue, dampaknya melebar. Orangtua lo dan orangtua Ina jadi masuk. Sebenarnya bagus kalo ortu Ina tahu. Mereka jadi bisa benerin pergaulan anaknya. Tapi situasinya kalian itu sepupuan. Nyokap lo dan nyokap Ina adik kakak. Pasti bakal memengaruhi keharmonisan-"
"Kebanyakan mikir lo, Botak. Biar aja. Mama Fenita udah cukup tua. Bibi Tya juga. Mereka harusnya bisa berpikir dewasa menangani situasi gue dan Ina. Kalo mau pake jalan kekanakan dengan saling musuhan ato perang dingin, gue nggak mau ikutan. Itu pilihan mereka. Setahun gue bersabar dan menelan sendiri sakit hati gue. Sekarang sudah gue lepas dan nggak bisa gue tarik lagi semua omelan gue," potongku yang enggan mendengar omongan Bahtiar yang memojokan aku sebagai pelaku kerusuhan. Tolong ingat, aku memang memuntahkan kemarahanku malam itu ke Irfan. Kalau tanpa sengaja ada pendengar lain, aku nggak urusan.
"Kil, gue nggak memihak siapa-siapa. Gue mau lo-"
"Bisa nggak kita ganti obrolan?" Aku menggeram dan blak-blakan menunjukan kekesalan.
Bahtiar angkat tangan. Ciri khasnya ketika membiarkan aku menentukan sesuatu. Aku tersenyum. Kan, aku ini receh banget. Asal Bahtiar mengikuti mauku, kekesalanku lenyap.
"Gue mulai kerja Jumat ini. Keita bakal bantu gue soal job desc dan lain-lainnya selama Sabtu dan Minggu. Gue akan pulang minggu depan, di hari Minggu. Nanti gue cari alasan ke nyokap kalo weekend nggak bisa pulang."
"Lo mau alasan apa kalo tiap Senin sampai Sabtu nggak pulang?"
"Gue ngekost. Lokasinya jauh dari sini. Bayangin, Tiar, gue dari Kemayoran ke Kemang Selatan. Itu lalu lintas dan waktu nggak bisa becanda. Pasti Mama Fenita dan Bapak Syarif Hidayatullah memahami anak mereka ini."
"Seumur hidup, lo nggak pernah ngekost. Tante Fenita bisa aja khawatir dan menawarkan diri tinggal di kostan lo."
"Gue punya rencana cadangan soal itu. Pokoknya lo harus jaga rahasia gue ini. Oke?"
"Kok gue malas, ya."
"Jangan nyoba minta traktiran, deh. Gue bakal ajak lo makan di Pizzaria kalo udah gajian. Santai, Bro Tiar, gue teman yang penuh kasih sayang dan senang bersedekah."
"Andy Lau, enak aja lo ngaku bersedekah ke gue."
"Nggak usah malu, Bang. Saya paham betapa sulitnya hidup sebagai pejuang receh Jakarta. Kalo perlu sesuatu, ngomong aja."
"Emang mau lo bantu?"
"Mau gue bantu bilang, 'kacian kamyu'. Nah, tambah berasa sengsara, kan."
"Kutu kampret lo!"
Aku tergelak senang. Kenikmatan itu sederhana. Bikin Bahtiar 'botak' Jamaluddin kesal, maka aku akan bahagia.
***
"Kenapa harus ngekost, Odie?" Tanya Mama Fenita.
Bapak masih tenang menanggapi ceritaku soal pekerjaan baru yang jauh dari rumah. Serta tetek bengek betapa menuntutnya bos baruku ini. Keren banget kemampuanku menciptakan kisah baru tanpa menyenggol profesi maid yang akan aku geluti. Aku cukup menyebut posisiku adalah personal assistant (untuk memberi makan hewan peliharaan Keita) sekaligus guru bahasa Indonesia (yang tepatnya adalah speaking partner Keita). Untuk kedua hal itu, aku diharuskan bekerja lebih dari delapan jam.
"Ma, aku takut datang telat ke sana. Bos baru aku orang Jepang. Mama tahu sendiri gimana orang Jepang memandang waktu. Kalo aku sering telat, kinerja aku akan dianggap jelek. Aku susah loh mendapatkan pekerjaan ini. Gajinya juga bagus," kataku menjelaskan dengan perasaan bersalah.
"Tapi Mama takut kalo kamu tinggal jauh gitu. Gimana makan kamu? Gimana lingkungan baru kamu?" Mama Fenita tambah membuatku bersalah. Kalau begini makin berat aku berbohong.
"Kasih Odie kesempatan, Ma," sela Bapak. Aku rasa-rasanya ingin menjerit kegirangan. Nah, ini baru Bapak Syarif yang aku kenal. Bijak dalam membuat keputusan, walau kadang harus mengalah pada Mama Fenita demi menstabilkan rumah tangga.
"Pak, Kemang itu jauh," ujar Mama yang sepertinya belum bisa melepaskan aku tinggal jauh dari rumah.
"Memang jauh, makanya Odie mau ngekost. Bukannya bagus Odie menunjukan usahanya pada pekerjaan baru itu," balas Bapak.
Aku meringis kecil, tambah bersalah. Seandainya kedua orangtuaku tahu apa profesi baruku yang sebenarnya. Duh, jangan dibayangkan, Kil, jangan.
"Begitu, ya." Wajah Mama Fenita tampak belum terima harus terpisah jauh dari aku. Sepanjang hidup, belum pernah aku tinggal jauh dari rumah. Kuliah dapat ditempuh TransJakarta kurang dari setengah jam. Dari SD sampai SMA, sekolahku yang paling jauh hanya beda kelurahan. Aku bisa memahami perasaan Mama. Apalagi aku adalah satu-satunya anak yang mereka punya.
"Janji sama Mama, kamu akan rajin pulang tiap minggu."
Itu janji yang berat, Ma. Aku nggak bisa. "Insya Allah, aku pulang tiap minggu buat ketemu Mama. Aku akan usahakan kita sering ketemu." Aku memikirkan sedikit perubahan jadwal kerja. Sedikit taktik yang nggak harus Keita ketahui, tapi dapat membantu mengurangi kecemasan Mama.
"Kamu kerja yang baik. Kalo ada apa-apa langsung telepon Mama. Jangan membiasakan diri menahan masalah sendiri. Mama kadang kolot, tapi Mama tetap perlu tahu apa yang terjadi sama kamu. Dua kepala akan membuat masalah lebih mudah diselesaikan."
Aku tahu Mama sedang menyindir kasusku, Irfan, dan Ina. Pantas saja Mama begitu berat mengizinkan aku tinggal di luar rumah.
"Iya, Ma."
"Kapan kamu mau pindah? Biar Bapak bantu bawa barang-barang kamu ke kost," kata Bapak yang membuatku panik.
"Nggak usah, Pak. Aku cuma bawa baju satu koper. Nggak perlu bawa yang lain-lain. Fasilitasnya oke banget di sana. Kamar mandi dalam, ada tv, kulkas, dan AC. Aku juga pindahnya Jumat, bertepatan Bapak kerja."
"Biar Mama aja yang bantu kamu pindahan."
Ya Allah, susah banget berbohong. Aku mohon ampun banyak-banyak.
"Nggak usah, Ma. Aku cuma naro barang, terus kerja. Kalo Mama ikut, Mama mau ngapain? Kost aku itu tempat karyawati semua. Jelas sepi kalo pagi. Mama juga susah pulangnya. Daerah situ rawan macet." Mama, maaf, aku berbohong.
Mama dan Bapak mengikuti saja kemauanku. Malam itu Mama membantuku mengepak pakaian dan keperluan ciwik ke dalam satu koper besar. Bapak memberikan aku dukungan lewat transfer uang dadakan. Kata Bapak, sebagai pegangan di sana sampai hari gajian. Salut banget sama kedua orangtuaku. Di lain pihak, aku malah menebar kebohongan karena takut mengecewakan mereka.
###
08/03/2019
🙈🙈🙈 ini Kilau sadar udah boong masih aja dilanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gabble
ChickLitLulus kuliah, nyari kerja, pacaran, umur 25 tahun menikah. Sempurna! Kilau Odelia menata rencana hidupnya se-mainstream itu. Dia nggak butuh hidup muluk nemu cowok level hawt mampus yang bisa bikin wanita menggelepar. Atau anak milyuner minyak asal...