14.8K 2.2K 33
                                    

Jodoh itu ditunggu, kalo nggak datang, boleh dong nikung pacar orang. Masalahnya saat pelakor lagi musim, Frankie melempar aku pada jebakan. Jebakan aplikasi temu kencan stranger. Kepedean nggak menyebut acara kopdar aku sebagai temu kencan?

Frankie menggamit lenganku erat, setelah tadi aku berusaha kabur. Yakali, aku yang didorong berhadapan orang asing saat jari miliknya yang mengacau. Dia sendiri mau kabur tadi, beralasan memberiku waktu privasi berdua.

"Kil, nanti lo senyum. Kalo cocok, gue tinggal. Aneh kan kalo pedekate ada setan ketiganya," kata Frankie. Aku kebal pada gayanya mempersuasifkan orang. Sekarang situasi urgent. Sebenarnya kami bisa saja kabur. Toh, di aplikasi itu, si Mas Jejepangan belum tahu nomor ponselku. Dia hanya tahu wajahku melalui foto profil yang dipasang Frankie. Nggak menutup kemungkinan aku kabur dari FX, hapus aplikasi, then bye stranger.

"Nggak ada alasan. Stay here!" Aku mendesis padanya dengan lirikan judes. Frankie berdiri lesu.

Kami bertahan di sini karena alasan aku penasaran. Mas Jejepangan nggak menggunakan foto profil wajahnya melainkan tokoh kartun One Piece. Kekanakan, pikirku. Tapi entah mengapa aku tergoda.

"Dia ngirim pesan?" Tanya Frankie.

Aku mengecek ponsel. Nggak ada notifikasi apapun dari aplikasi ArrowDarling. Pesan terakhirnya masih sama.

K.Takaki: Saya pakai kemeja buru

Lihat ketikannya membuatku menggeleng. Buru. Jelas dia bermaksud bilang biru. Typo atau misspelling, entahlah. Sebab dia orang asing yang belajar bahasa Indonesia, aku nggak mengejek, melainkan bangga pada usahanya.

"Kil, kemeja buru arah jam dua," bisik Frankie sambil mengerling jenaka.

Aku menoleh cepat pada arahan Frankie. Di sana, dari lorong itu, aku melihatnya. Jantungku berdebar kencang. Bertemu orang baru dalam acara begini adalah kali pertama. Wanjay, lupa cek penampilan.

Pria itu berjalan mendekat. Sosoknya makin terlihat jelas. Dia mengenakan kemeja biru dan celana dasar. Rambutnya dipotong pendek khas pekerja kantoran. Tinggi, nggak terlalu putih, dan agak kurus. Wajahnya... aku otomatis tersenyum. Dia mengingatkanku pada kartun Peter Pan dari Disney. Mata sipit dan kekanakan.

Dia tersenyum lebar sambil melambai. Penting banget kakiku gemetar? Dia mungkin bukan pria tampan menurut kriteriaku, tetapi dia tetap saja pria. Panik ini panik. Dia bisa saja mengira aku nggak menarik lalu putar haluan begitu mendekat.

Aku melirik Frankie yang memandang ke depan. Sekarang aku menyesal nggak membiarkan Frankie kabur. Bisa saja pria itu belok ke Frankie. Lihat, coy, Frankie seperti Tamara Bleszinski versi dua puluhan. Lah aku? Wassalam!

"Hai, saya Keita Takaki," ucap pria itu saat berdiri di depan kami.

Nyaliku menciut. Diam-diam aku menantikan kedatangan pria tua buncit berwajah bulat dan sipit. Sosok yang akan membuatku merasa pantas di sini. Bukan pria muda dengan senyum penuh kebaikan.

"Hai, aku Frankie. Dia yang namanya Kilau." Frankie menyenggol bahuku dengan sengaja.

Bisa tenang nggak, sih? Aku sedang bergumul pada pikiran sendiri. Orang asing ini pencitraan. Dia bersikap baik karena first impression itu penting. Aslinya, bisa jadi beda. Oke, santai, aku bisa menghadapi kecanggungan ini.

"Aku Kilau. Nggak nyangka bisa ketemu di sini," ujarku penuh keceriaan palsu.

"Saya senang betemu kamu. Turima kasih," balas Keita dengan logat Jepang kental.

Rasanya senang sekali mendengar orang asing berbicara bahasa Indonesia. Naluriah aku tersenyum. Terdengar suara tercekat di sebelah. Aku menengok Frankie yang memerah menahan tawa. Kalau manusia satu ini patut dipertanyakan. Kadar manusiawinya sering kali timbul tenggelam, seperti sinyal provider di kala hujan.

"Lah, iya, suami gue pasti nunggu," seru Frankie tiba-tiba. Dia melepas lenganku dan melambai lebay sembari pergi. Aku terlambat mencegahnya pergi. Dia telah lebih dulu meninggalkanku berduaan Keita. Tuh, manusia satu itu salah menangkap gelagat. Dia bisa jadi mengira aku mengusirnya, padahal aku memintanya jangan menertawakan ucapan Keita.

Aku menggelengkan kepala atas ulah Frankie. Ada-ada saja dia mengaku punya suami. Frankie memang biasa berbuat begitu, mengaku sudah menikah atau bertunangan. Hanya dia dan Tuhan yang tahu alasan Frankie.

"Ki-rau," panggil Keita ragu-ragu.

Sejenak aku menganga. Dia sebut apa tadi? Kirau? Siapa itu?

"Kilau. Ki-lau," koreksiku tenang.

"Maaf, saya berum pintar bahasa Indonesia."

"Nggak masalah. Kalo kesulitan, aku bantu. Sebenarnya kamu boleh panggil aku Odie. Apa lebih mudah diucapkan?"

"Odie." Keita tampak menimbang panggilanku yang lain. Sebenarnya nggak ada yang beda dari panggilan Kilau dan Odie. Sama-sama merujuk diriku. Bedanya Odie lebih sering digunakan keluarga dan tetangga. Sementara Kilau dipakai teman sekolah dan rekan kerja. Aku nggak membedakan siapa yang boleh memanggil panggilan yang mana. Sama saja.

"Baik."

"Baik?"

"Ya, baik," ulang Keita agak bingung.

Hei, di sini aku yang mestinya bingung. Mengapa dia bilang baik?

"Saya suka Odie dan Ki-lau." Keita berusaha keras melafalkan nama depanku dengan benar. Lagi-lagi aku tersenyum. Menyenangkan sekali mendengar orang asing yang mau belajar bahasa ibu kita. Jujur nih, aku kerja sebagai resepsionis. Bertemu macam-macam orang dari belahan dunia, tapi dari sepuluh yang datang belum tentu satu saja bisa bahasa Indonesia. Padahal mereka menginjak pulau Jawa, dipayungi langit dan polusi Jakarta. Secuil dari mereka yang kepikiran menambah pengetahuan melalui komunikasi bahasa lokal. Gimana dong, di Jakarta sendiri, bahasa Inggris dicampur aduk bahasa emak kite.

"Makasih," ucapku tulus.

Keita tersenyum lebar sambil membalas, "Turima kasih kembali."

"Mau makan crepes?" Tanyaku basa-basi. Perutku penuh. Tentu saja. Aku makan banyak setiap keluar bareng Frankie. Moto kami, makan terus, makan lagi, makan dulu. Seolah-olah kami lupa dampaknya pada jarum timbangan keesokan hari.

"Saya sudah makan. Kamu belum?"

"Aku juga udah makan. Gimana kalo minum?"

"Minum? Boleh kamu minum?"

"Minum kopi ato teh. Bukan yang ada alkoholnya."

"Oh, baik."

"Starbucks?"

"Boleh."

Oke, Kil, ingat, hanya kenalan. Jangan macam-macam!

Kami berjalan bersisian. Keita tampak hapal dimana lokasi Starbucks. Bisa dikatakan dia yang memimpin jalan ke sana. Aku mulai menduga kepentingan apa Keita berada di Jakarta. Bekerja? Belajar? Punya usaha? Mencari kekasih yang lama pergi? Oke, dugaan terakhir agak melankolis. Tapi siapa ciwik yang nggak suka mendengar alasan romantis begitu? Ngacung, deh!

"Odie."

Langkahku terhenti. Mataku membesar. Saat adem ayem begini, setan memang selalu datang menggoda keimanan manusia. Mesti banget ketemu mantan pacar setan? Aku mendengkus kesal. Kalau ini kartun, hidungku pasti sudah menyemburkan asap panas.

###

28/01/2019

Gw blom ada mood ngetik apa2 jadi terimalah sisaan gudang.

#bebekcucigudang #bebekbaik #bebekobral #bebekcantik #bebekdisini

GabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang