Sudah sejak lama aku menanggalkan impian kekanakan, contohnya sihir ibu peri, pangeran tampan, dan apel beracun. Sekali ini aku mengharapkan mempunyai satu di antaranya. Kasat mata seperti Harry Potter saat menggunakan jubah sihir, lantas dapat menghindari pertemuan dengan mantan bejad. Waktu sudah bergeser ke angka sembilan malam dan si mantan bejad baru keluar dari rumah sepupu setan. Aku baru saja mengembalikan mangkok baso ke abang yang sering mangkal depan rumahku.
"Odie, bisa bicara sebentar?" Irfan berlari kecil menghampiri.
Aku mendengkus, terang-terangan melemparkan kebencian. Kata orang, jangan terlalu cinta karena berpotensi benci dan jangan terlalu benci karena berpotensi cinta. Aku sudah melalui yang pertama, terlalu cinta yang berujung benci. Amit-amit kalau kebencianku mesti berubah cinta lagi. Adegan coblos-mencoblos yang mereka lakukan masih terekam jelas di benakku walaupun sudah berlalu setahun lebih.
"Mau apa?" Sentakku tanpa ragu mengeluarkan amarah. Nggak ada tuh baik dan sopan ke mantan sialan yang menghancurkan aku keping demi keping.
Irfan memaksakan senyuman menghadapi sikap kasarku. Maaf aja, aku kalau bisa memilih lebih baik nggak perlu ketemu seumur hidup sama dua penghianatーyang salah satunya berdiri di hadapanku.
"Aku dengar kamu sedang nganggur. Kalau kamu mau, ada lowongan-"
"Urusin hidup lo sendiri. Jangan ribetin gue. Kalau ada bantuan yang bisa lo kasih, jangan pernah menemui gue. Asli, lihat muka lo dan pacar lo bikin gue jijik," potongku cepat. Ini benar-benar kesempatan memuntahkan unek-unek.
Aku dapat melihat jelas ekspresi Irfan yang marah. Dia pikir aku peduli kalau dia marah. Dia saja bisa berbuat hal yang segitu rendah tanpa memedulikan keberadaanku. Sakitnya tambah parah karena rekannya menyakitiku nggak lain adalah sepupu yang sejak orok aku kenal.
"Kamu benar-benar nggak bisa memaafkan aku dan Ina? Kami sudah meminta maaf dan kita sudah putus setahun lebih. Odie, tolong pahami situasi ini dari sisi kami," Irfan memohon sekaligus membela diri. Vangke, dia bahkan menyebut setahun lebih. Itu kan pertanda selama ini dia menghitung lama waktu kami putus.
"Memaafkan? Gimana caranya gue memaafkan cowok berengsek yang selingkuh sama sepupu gue sendiri? Lo selingkuh sama Ina!" Aku menunjuk dada Irfan dengan sengit. Matanya membelalak atas respons yang aku berikan. Jujur, emosiku naik ke puncaknya. Irfan memintaku memposisikan diri dengan mereka dan itu benar-benar gila. Ciwik lain mungkin bisa memahami mereka, tetapi bukan aku. Hatiku dihancurkan sampai sukar disatukan. Kepercayaan bukan lagi temanku kala merekaーdua orang yang paling aku percayaーberkhianat.
"Odie, berhenti," pinta Irfan dengan suara berbisik.
Aku nggak mau menurut. Aku ingin membangkang. Setahun lebih aku mengakhiri hubungan kami dengan kata 'kita putus' tanpa mau mempertanyakan alasan mereka. Aku takut alasan yang mereka berikan menyakitiku. Tanpa aku duga, aku malah menyimpan sakit untuk aku pupuk sendiri. Kali ini aku ingin bersuara. Aku ingin Irfan tahu, aku meminta putus bukan berarti aku merelakan semuanya. Aku membenci mereka. Itulah yang hendak aku tekankan.
"Berhenti? Lo pikir sendiri gimana caranya lo berhenti membenci pacar yang udah nidurin sepupu gue. Oh, salah! Lo dan sepupu gue tidur karena saling suka. Penyatuannya cocok ya?" Aku terkekeh sinis tanpa melepas pandanganku yang meremehkan. "Berapa lama lo membodohi gue? Berapa lama lo dan Ina main di belakang gue? Lo bukan cuma selingkuh, lo juga having sex sama Ina! Lo bajingan keparat, sama kayak Ina. Sekarang kasih tahu gue apa alasan lo berbuat begitu? Ato gue harus nanya Ina? Biar dia yang jelasin kenapa dari semua cowok, dia milih lo buat jadi teman boboknya?"
"ODIE!" Irfan membentak. Bagus, buat situasi ini semakin panas. Aku sudah terlanjur terbakar dan siap hangus detik ini juga.
"Satu-satunya hal yang gue syukuri dari lo adalah gue nggak pernah menyerahkan keperawanan gue ke lo. Kalo lo nggak bisa ngasih gue penjelasan yang mestinya gue tuntut setahun lalu, nggak masalah. Tapi gue akan tetap bertahan pada pilihan gue menjauhi lo dan Ina. Bagi gue kalian berdua lebih rendah dari lalat di atas tai kucing." Aku masih ingin menyakiti Irfan. Aku ingin dia tahu betapa aku sakit dan kehilangan kepercayaan diri. Bagaimana aku jungkir balik selama setahun menata mental dan hati demi melanjutkan hidup setelah perbuatan jahatnya terungkap.
"Lo dan Ina udah berapa kali bobok bareng setelah pacaran?" Sindirku. Irfan semakin berang. Wajahnya merah padam oleh emosi. Spontan aku tertawa. Permainan ini menyenangkan. Andai saja aku coba sejak lama, aku pasti akan senang tiap bertemu mereka alih-alih takut dan kembali sedih. Tapi segala kesenanganku runtuh sekejap sewaktu aku mendapati Bibi Tya, ibu Ina, berdiri di depan pagar rumahnya sedang menonton pertengkaran kami. Di belakangnya ada Ina yang menangis. Aku memutar kepala dan mendapati kedua orangtuaku mengintip dari jendela.
"Odie, kamu-"
"IRFAN!" Bibi Tya berteriak dari seberang. "Pulang kamu sekarang! Temui saya besok!"
Irfan terkejut tapi cukup lihai menyembunyikan. Bibi Tya balik badan dan membentak Ina masuk rumah. Irfan berbalik kepadaku dan hendak mengatakan sesuatu sebelum dipotong Bapak yang sudah berdiri di depan pintu.
"Irfan, pulang sana! Odie masuk ke dalam!" Bapak dengan suara tegas menatap Irfan marah.
Aku pergi meninggalkan Irfan dan disusul Bapak. Nggak ada di antara Bapak dan Mama yang mau bicara di dalam rumah. Mereka sepertinya kelewat syok, begitu pun aku. Kami sekeluarga menghabiskan sisa malam itu berdiam di kamar masing-masing.
Esok paginya, aku menemukan kekhawatiranku semakin nyata. Mama berkata Ina ditampar Bibi Tya. Kemudian Om Chaerul, bapak Ina, memarahi Bibi Tya. Keluarga itu bertengkar hebat. Semua karena ucapanku yang didengarkan Bibi Tya.
"Kamu nggak coba ketemu Ina?" Mama bertanya saat menyajikan sarapan di atas meja.
"Aku rasa Mama dengar bagian aku menganggap apa Irfan dan Ina," sekali ini aku sukar menahan kesinisan. Mama seolah berpihak pada Ina setelah dia tahu apa yang aku alami lewat pembicaraanku dan Irfan semalam.
"Odie, Mama cuma ingin kamu membantu Ina sebagai sepupu. Bibi Tya dan Om Chaerul marah besar kepada Ina. Mereka juga saling marah karena merasa kebobolan dengan pergaulan Ina."
Aku mencomot roti bakar yang dibuat Mama dan sengaja nggak menanggapi. Ogah banget bantu ciwik setan yang senang menyedot kebahagiaan orang.
"Odie, tolong," pinta Mama semakin lembut.
"Ma, Ina harus menghadapi konsekuensi perbuatannya. Jika bukan dari aku, lama-lama juga ada orang lain yang ngasih tahu. Kalo Ina berani berbuat, dia wajib bertanggung jawab. Keluarganya jadi panas kan dampak perbuatannya. Nggak usah cengeng lah. Toh dulu aja berani kok nikam aku," cerocosku sambil menahan lonjakan emosi. Biarpun aku kesal ke Ina, Mama Fenita nggak boleh dijadikan pelampiasan. Bapak Syarif Hidayatullah mengajarkan aku bersikap sopan ke orangtua, terutama Mama.
"Odie," Mama menggeleng dan memberikan aku tatapan 'anak solehah harus nurut'.
"Iya, Ma, aku ke sana. Tapi aku nggak mau menjamin situasinya lebih baik. Emosiku lagi buruk dan aku mau bertemu calon bosku, jadi aku nggak akan lama di sana. Aku nggak mau make up aku luntur gara-gara Ina." Aku berdiri usai menandaskan segelas susu, lalu mencium punggung tangan Mama. Aku keluar rumah, sinar matahari pagi menyerbu pandanganku. Duh, suasana cerah begini terpaksa aku singkirkan demi bertemu sepupu setan yang nggak tahu diri. Aku menarik napas dalam dan mengucap bismillah. Aku melangkah ke rumah di seberang sambil berzikir dalam hati. Ada banyak tanya, ada banyak keraguan, dan semuanya berkumpul pada sosok di depan gerbang. Ina di sana, seperti sedang menungguku.
"Odie," panggilnya lemah.
Aku mengangguk dari luar gerbang rumahku. Kami terpisahkan jalan perumahan selebar tiga meter. Saling menatap dari mata ke mata. Sama-sama nggak berani melangkah lebih dekat.
"Situasi kita kacau banget," kata Ina sambil menunduk.
Aku mengangguk dan menarik satu sudut bibirku. Situasi kami kikuk. Aku nggak tahu mengapa dan nggak ingin mengubahnya. Aku rasa memang ini proses terbaik bagi kami.
"Gue ada interview, gue pergi duluan," kataku akhirnya. Kaki gemetar berlama-lama di sana. Aku nggak mau sikap spontanku membawaku dalam pelukan Ina dan terujar kata maaf-memaafkan. Aku belum siap secara perasaan. Ada waktu yang perlu aku tempuh... dan itu bukan sekarang.
###
05/04/2019
Kan, gw balik lagi..
Kan, Kilau manusia banget 😂 tenang coy, gw jarang bikin tokoh gw sempurna. Gw bikin mereka salah dan emosian biar belajar. Life is so ironic, you learn happiness from sadness.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gabble
ChickLitLulus kuliah, nyari kerja, pacaran, umur 25 tahun menikah. Sempurna! Kilau Odelia menata rencana hidupnya se-mainstream itu. Dia nggak butuh hidup muluk nemu cowok level hawt mampus yang bisa bikin wanita menggelepar. Atau anak milyuner minyak asal...