Chapter 3

2.2K 207 4
                                    

Dia menginjak pedal gas dalam-dalam. Dengan ahli dia memanuver mobilnya melewati mobil-mobil lain di jalan bebas hambatan itu. Kalau saja hati nuraninya mengizinkan untuk mencelakai orang lain, dia akan memilih untuk menabrakkan saja mobilnya ke mobil lain. Sampai saat truk trailer di depannya kehilangan kendali dan tiba-tiba berbelok tajam. Dalam hitungan detik, Singto harus memutuskan untuk membuang setir ke kiri dan menabrak mobil di samping atau menginjak pedal gas lebih dalam dan bersiap menghadapi benturan. Pilihannya sudah jelas.

----

"Khun ... bisakah kamu mendengar kami? Khun...."

'Apa yang terjadi? Suara-suara apa ini? Nyeri ... hanya ada rasa sakit. Apakah aku sudah mati?'

"Kita harus memindahkannya. Lakukan dengan cepat. Api semakin besar!"

"Khun, kami harus memindahkanmu. Tetaplah bersama kami. Bisakah anda mencoba untuk tetap sadar?"

"Perhatikan kepalanya ... hati-hati. Ok, kita bisa memindahkannya sekarang. Rumah sakit sudah dihubungi dan mereka sudah menunggu di landasan helikopter."

"Khun? Kami akan membawamu ke Rumah Sakit Kongthanin. Segalanya akan baik-baik saja. Bertahanlah, Khun!"

Suara-suara hilang dan timbul. 'Apa yang mereka bicarakan? Rumah sakit? Apa yang terjadi? ARRRRGGGHHHH.... Sakit sekali. Mengapa aku tak bisa mendengar suaraku sendiri? Putih semua jadi putih... terang sekali... '

-----

"Khun Ruangroj? Khun Ruangroj?" Perlahan Singto mendengar suara memanggil namanya.

'Semuanya gelap. Kenapa gelap sekali? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa? Ini dimana? Lalu itu suara siapa? Mana wajah mereka? MENGAPA AKU TIDAK BISA MELIHAT APA-APA????' Singto sangat ketakutan.

"Saya Dokter Phana Kongthanin, tetapi anda bisa memanggil saya Dokter Pha. Khun Ruangroj, Anda baru saja mengalami kecelakaan. Apakah anda ingat apa yang terjadi?" Seorang pria yang tidak dapat dia lihat berbicara dengannya. Di mana dia? Mengapa dia hanya bisa mendengar suaranya?

"Khun Ruangroj?" suara itu dengan tenang terus bertanya. Singto hanya bisa berulang kali menggelengkan kepalanya.

"Seperti yang saya katakan, Anda mengalami kecelakaan. Mobil Anda hancur setelah bertabrakan dengan truk trailer yang tiba-tiba berbelok tajam keluar jalur. Kita beruntung karena anda selamat. Namun, kami sangat menyesal karena mata Anda mengalami kerusakan parah dan mengalami kebutaan. Setelah beberapa tes yang kami lakukan, kami takut, kebutaan ini bisa bersifat permanen jika operasi tidak sesegera mungkin dilakukan. Ada luka di belakang kornea mata anda yang menyebabkan pendarahan internal. Darah yang mengumpul mendorong saraf mata anda dan menyebabkan kebutaan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, jika kita tidak menghentikan pendarahan sesegera mungkin, kebutaan bisa permanen."

'APA? BERUNTUNG kamu bilang? Aku buta. BUTA! Dan kamu bilang aku beruntung?' Dingin merambati punggungnya. 'Tidak! Ini tidak mungkin terjadi! Aku ingin mati ... bukan buta. Biarkan aku mati! Aku tidak ingin hidup dalam kebutaan! TUHAN! MENGAPA KAU MENIMPAKAN INI SEMUA KEPADAKU?!'

------

Episode tantrum yang lain. Percobaan bunuh diri lagi. Tuhan pasti sedang berlaku tidak adil. Mengapa Tuhan mengambil penglihatannya tetapi bukan hidupnya? Dia tidak ingin hidup. Tetapi jika dia harus hidup, bagaimana dia bisa hidup dalam kegelapan? Bagaimana dia bisa bertahan? Lebih baik biarkan saja dia mati. Dia hanya menginginkan kedamaian. Biarkan dia sendiri. Jangan selamatkan nyawanya lagi.

Iris ... iris ... tes ... tess ... dia bisa merasakan darah menetes meninggalkan pembuluh darahnya. Indah ... dia bisa merasa kehidupan meredup. Damai ... dia akan mendapatkan kedamaiannya. Akhirnya ... kegelapan total.... tak bernyawa.

[Tamat] Love SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang