Chapter 8

1.7K 203 17
                                    

Sebelumnya, saya minta maaf untuk yang kemarin sempat baca versi mister gugel trenslet. Entah kenapa, semua editan saya hilang dan draft balik ke versi awal, pdhal udah diedit berjam2 jadi harusnya udah bbrp kali kena auto-saving. Tapi kadang hidup emang gitu ya? Ada suka ada duka *paansih? hehehe... LANJOOOOOTTTTT MAAAANGGGGG....


-------


Ini adalah hari terpanjang yang pernah dilalui Singto. Dia terus menunggu dan berharap seseorang akan membuka pintu kamarnya. Tetapi sampai tengah malam tidak ada orang lain selain Bu Ketut yang membawa makanannya masuk ke kamarnya.

"Tuan Singto, boleh saya masuk?" Bu Ketut bertanya dengan lembut.

"Ya," hanya jawaban singkat yang dikatakan Singto.

"Makan malam dulu Master Singto. Kamu sudah tidak sarapan dan nyaris tidak makan siang. Kamu bisa sakit kalau terus-menerus tidak makan," Bu Ketut dengan cemas berbicara.

"Tolong ambilkan roti saja, Bu. Aku malas makan," jawab Singto singkat. Dia tidak ingin makan. Bukan hanya karena dia kehilangan nafsu makannya, tetapi juga karena sangat sulit untuk makan dalam kegelapan. Dia tidak bisa tahu apa yang dia masukkan ke mulutnya. Tidak bisa memprediksi rasa makanan yang akan ditelannya. Dia pun teringat pada pengalaman makan bersama dengan Krist.

"Aduh telur ini enak banget. Sangat creamy dan buttery. Bu Ketut bilang ini namanya gulai telor. Mirip banget dengan phet kaeng kami, tetapi kita punya lebih pedas. Kamu harus coba," Krist tiba-tiba menyodorkan sendok ke depan mulutnya. Bau makanan di atas sendok sangat menggoda sehingga Singto segera saja membuka mulutnya dan mencicipi kelezatan telur itu.

Krist selalu menjelaskan rasa seperti apa yang dia bisa harapkan dari makanan yang akan ditelannya. Imajinasinya terbantu dengan penjelasan yang sangat detail. Meskipun kadang-kadang dia menipunya seperti kali itu.

"Khun Singto, kamu harus coba buah ini. Aku tidak tahu apa namanya, tapi begitu manis dan juicy." Tiba-tiba Krist menyentuh dagunya dan dengan reflex dia langsung membuka mulutnya. Rasa pahit dan asam meledak di mulutnya dan dia mendengar Krist tertawa dengan geli sementara dia hanya bisa mengutuknya dengan makian penuh warna.

Tanpa Krist, dia tidak memiliki nafsu makan untuk menelan makanannya. Begitu selesai memakan roti tawar, dia kembali duduk termenung di sofa, menunggu seseorang datang untuk mengejeknya. Dia terus menunggu sampai akhirnya tertidur. Tidak sadar ketika pintu kamarnya dibuka dan sepasang mata dengan sedih menatapnya sebelum perlahan menutupnya kembali.

Pada tengah malam, Singto tiba-tiba terbangun. Dia menegakkan tubuhnya dengan segera; setengah berharap ada seseorang bersamanya. Tapi tidak ada seorang pun. Dia sendirian.

Terlalu panas untuk kembali tidur. Perlahan-lahan dia pindah ke jendela. Angin meniupkan udara panas ke dalam kamarnya. Dia selalu menyukai udara panas seperti ini. Mengingatkannya pada rumah tetapi juga sangat berbeda. Baginya dulu, Bali adalah surga. Tempat untuk membebaskan diri. Dia tidak perlu berpura-pura di sini. Orang-orang di sini memang tahu kalau dia kaya tapi mereka tidak menyadari seberapa besar kekayaannya. Di Bali dia bisa dengan bebas berjalan-jalan di pasar lokal tanpa mempedulikan paparazzi. Dia bisa mengenakan pakaian apa pun yang dia suka tanpa peduli ada yang akan menilai selera modenya. Dan di atas itu semua selalu ada kehangatan yang diberikan oleh keluarga Pak Ketut. Pria tua dan istrinya itu selalu memperlakukannya seperti salah satu anak mereka, sementara anak-anak mereka selalu memperlakukannya seperti saudara kandung mereka sendiri, Bli mereka.

Sekarang ketika apa yang dia bisa lihat hanyalah kegelapan, mengetahui bahwa seharusnya ada warna-warna cerah di sekitarnya, dia merasa hancur. Dia ingat apa yang dikatakan dokter Beam tentang matanya.

[Tamat] Love SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang