"Khun Perawat .... Maukah kamu jadi temanku?"
Krist kaget dengan pertanyaan Singto itu.
"Ini ... aku tidak ... Maksudku ... kita tidak bisa ..." Krist tergagap.
"Tidak apa-apa kalau kita belum bisa bersahabat sekarang. Tapi aku menyukaimu ... Maksudku sebagai teman. Dan aku akan sangat senang kalau kita bisa berteman," Singto berdoa agar dokter intern itu mau menerima tawarannya. Bagi Singto, sangat mudah bercerita ke pria ini. Tidak pernah sekalipun sang dokter menghakiminya. Dia bahkan sudah mengakui dosanya, tapi dokter itu tidak bergeming dan hanya mengutarakan pendapat jujurnya.
"Maksudku bukan seperti itu. Dokter Beam menempatkanmu sebagai tanggung jawabku. Aku harus menjaga penilaian profesionalku terhadapmu." Krist mencoba menemukan jawaban yang benar. Haruskah dia berteman dengan Singto? Apa yang dia inginkan terhadap pria buta ini lebih dari sekedar persahabatan. Tetapi itu adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
"Kunci profesionalisme adalah kejujuran kan? Aku percaya, sejauh ini, you are not lacking on that department," Singto menggoda sang dokter yang kaku itu.
"Kamu menuduhku sebagai orang yang kasar? Ih jahat banget," Krist mencibir.
"Kamu tidak kasar. Kamu cuma ... sedikit jahat," Singto melanjutkan candaannya.
"Enggak, aku enggak jahat! Aku adalah orang paling baik yang pernah kamu kenal," jawab Krist.
"Tapi orang baik macam apa yang mengabaikan pria buta?" Singto bisa melihat kemenangannya datang.
"Aiiishhhh ... baiklah kalau gitu, aku akan jadi temanmu. Tapi hati-hati aja ya karena aku tidak akan terus-terusan bersikap baik. Kamu tuh mulai nyebelin." Krist pun menyerah.
"Lihat ... kamu bukan orang yang baik. Kita baru berteman semenit dan kamu sudah memarahiku."
"Ah terserahlah. Aku akan meninggalkanmu sekarang!" Krist pun pura-pura akan meninggalkan Singto.
"Hai, tunggu ... gimana caranya aku kembali ke kamarku?" Singto mulai panik.
"Kayak aku peduli aja. Akukan cuma 'temanmu'. Dan adalah tugasku untuk meninggalkan teman yang menyebalkan. Itu ada di Friend101," sekarang giliran Krist yang menggoda Singto.
"Idih temen baik apaan kayak gitu," Singto cemberut.
Melihat dia cemberut dengan anak anjing di pangkuannya, detak jantung Krist menjadi kacau. Dia menelan ludah dan mencoba menahan diri untuk tidak tiba-tiba memeluk pria di depannya itu dan menciumnya hingga kehilangan akal.
"Oke... oke... aku akan membawamu kembali ke kamar. Tapi kita harus cepat karena jam istirahat makan siangku akan segera berakhir. Aku tidak ingin Suster Chavana marah karena tidak menemukanku di pos." Krist mengambil Chocco dari pangkuan Singto dan letakkannya di tanah. Segera anjing itu berlari ke arah bangsal perawatan anak untuk mencari tuan kecilnya, Arthit.
"Perawat bisa memarahimu? Tapi kan kamu dokter." Singto tidak bisa percaya.
"Tapi kami hanya dokter residen." Krist menambahkan. "Mereka itu jauh lebih senior. Jadi meski kami yang belajar sebagai dokter, pengalaman para perawat jauh di atas kami. Ini kayak master kung fu yang telah memenangkan beberapa laga dibandingkan dengan mereka yang baru tamat belajar dari kitab aja."
"Hah? Kung fu? Perumpamaan yang aneh. Jadi kamu suka kung fu?" Singto tertawa kecil. Semakin dia mengenal dokter itu, semakin dia tertarik padanya.
"Siapa yang nggak suka? Jet Li? Jackie Chen? Bruce Lee? Kau enggak suka? Nanti kalau kamu sudah bisa melihat lagi, kita harus lakukan marathon nonton film kung fu. Sekarang ayo cepet, chop... chop.. move your butt!" Krist menarik tangan Singto untuk berjalan lebih cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Tamat] Love Sight
General FictionKamu berpikir kalau kamu bisa melihat semuanya saat matamu terbuka lebar. Tapi cobalah untuk menutupnya sebentar; kamu mungkin melihat hal lain, hal-hal yang tidak pernah kamu percayai sebelumnya. Ketika seorang stripper jatuh cinta pada seorang pla...