Hidup

32 4 0
                                    


Malam, dan Nanda masih duduk sambil melamun di ruang tamu. Nanda tidak beranjak, tidak makan dan minum hanya duduk diam tanpa gerak sedikitpun. Terlihat di hpnya 20 panggilan tak terjawab dan hampir 50 sms yang tidak terbaca. Nanda membiarkan semuanya.

Nino langsung membuka pintu rumah Nanda yang tidak terkunci  semuanya gelap. Nino menyalakan lampunya dan terlihat Nanda masih setia duduk sambil diam. Nino mendekati Nanda, wajah nya sudah berantakan begitupun dengan matanya yang sembab. Nino berlutut didepan Nanda.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Nino memandang Nanda lembut.

Nanda hanya diam.

"Tadi aku telpon kamu, dan kamu tidak angkat, aku juga sms tapi kamu tidak balas, aku takut kenapa-kenapa jadi aku kesini."

Nanda menatap lemah Nino, air matanya perlahan keluar. Mata Nanda sangat gelap. Nanda menangis didepan Nino. Nino langsung memeluk Nanda saat tangisnya pecah. Nino menepuk-nepuk pundak Nanda sambil menyemangatinya.

Dan kini mereka berdua berada di kamar Nanda. Nanda sudah agak baikan, dia juga sudah rapi. Nino membawakan makanan jadi yang dia pesan tadi.

"Ayo makan. Kamu pasti belum makan malam kan?" Ujar Nino membuka satu per satu makanannya.

"Apa Adit yang memberi tahumu?" Tanya Nanda.

Nino mengangguk dan langsung memandang Nanda.

"Dia juga pasti sangat sakit. Dia harus milih ini karena dia tidak punya pilihan. Jangan menyalahkan dia ataupun dirimu, karena ini adalah jalan kalian berdua." Ucap Nino.

"Benar, ini jalan kita." Balas Nanda sambil membuka makanannya dan memakannya. Nino tersenyum dengan kekuatan Nanda.

Nino dan Nanda berjalan-jalan disekitaran sungai dekat dengan Rumah Nanda.

"Bagaimana sekarang?" Tanya Nino sambil menatap mata Nanda.

"Gak ada yang perlu disesalkan, bukankah anak nakal itu sudah merencanakannya?" Jawab Nanda sambil tersenyum.

"Awalnya Aku gak tahu seorang Adit punya pikiran sepanjang itu. Tapi inilah kenyataannya." Sambung Nino.

"Yak, dia cerdas." Protes Nanda.

"Emang aku bilang bodoh apa?" Goda Nino.

Nanda mengerucutkan bibirnya, sementara Nino tersenyum dengan tingkah Nanda.

"Nanda."

Tiba-tiba ada seseorang dari jauh memanggil nama Nanda. Nanda dan Nino reflek menoleh ke sumber suara. Dia mendapati Deni sudah ada disana dengan tersenyum ke arah Nanda. Raut wajah Nanda langsung berubah, Nino memyadari itu. Deni lalu menghampiri mereka berdua.

"Lama tidak bertemu." Sapa Deni.

Nanda hanya mengangguk.

"Apa kamu punya waktu sekarang? Ada yang ingin aku bicarakan."

Nanda memandang Nino, Nino mengerti dia pamit. Nino berjalan berlawanan arah.

"Ada apa?" Tanya Nanda.

"Apa kamu sudah makan?"

"Apa hanya itu yang ingin kamu bicarakan?"

"Ahh enggak, aku mau ajak kamu makan malam, ayo bicara sambil makan malam."

"Aku sudah makan malam."

"Oh, kita bicara ditempat lain."

"Disini saja."

"Tapi.."

"Baik, kita bicara besok di rumah sakit." Ucap Nanda yang bersiap pergi.

Deni menahan tangan Nanda.

"Tunggu sebentar. Baik kita bicara."

Nanda melepaskan pegangan tangan Deni.

"Begini, maukah kamu balikan denganku?" Ajak Deni.

Nanda menatap sinis kearah Deni.

"Aku baru sadar, kamu adalah satu-satunya wanita yang bisa ngerti aku dan bisa memahamiku. Tolong beri aku satu kesempatan lagi. Aku janji apapun kemauanmu aku akan penuhu, kamu mau aku kenalkan ke orang tuaku? Akan ku kenalkan. Kamu mau menikah? Ayo kita menikah."

"Kamu kira aku seambisi itu? Kamu kira aku pacaran denganmu cuma untuk itu?"

Langit sudah semakin mendung dan petir pun juga sudah mulai menampakan dirinya.

"Lalu?"

"Kamu saja tidak tahu kenapa kita pacaran? Kamu saja tidak tahu apakah kamu menyukaiku atau tidak. Jangan seperti itu, aku sudah cukup untuk itu. Jangan buat aku seperti itu lagi. Menjauhlah dariku, jangan buat aku semakin membenciku. Pulanglah bentar lagi hujan." Ucap Nanda sambil berbalik pergi.

"Aku menyukaimu. Aku menyukaimu." Ucap Deni yang berhasil menghentikan langkah Nanda. Hujan pun perlahan turun dengan derasnya.

"Tolong aku, aku tidak bisa mengendalikan perasaanku saat ini. Beri aku satu kesempatan satu kali lagi." Ucap Deni.

Nanda menatap Nino yang berdiri didepannya. Nino tersenyum dan mengangguk pamit. Nino memberikan jaketnya sebelum pergi untuk Nanda pakai.

"Aku pulang." Ucap Nino sambil berjalan pergi tanpa menoleh kembali.

Nanda menangis melihat kepergian Nino. Nanda merasa Nino pergi untuk selamanya. Nino sahabat dan juga orang yang sudah mengobati luka hatinya pergi begitu saja. Nanda menangis semakin kencang ditengah derasnya hujan malam.

Didalam mobil Nino hanya menunduk, dengan pakaian yang basah Nino menangis dalam diam.

Confession Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang