0.2 Dasar

3.5K 310 146
                                    

Yogyakarta, 13 tahun yang lalu.

Pagi yang cerah menyapa kediaman Nayra dan keluarganya. Hari ini, Ninda akan mendaftarkan Nayra di Sekolah Dasar yang sudah mencakup segala kriteria yang Ninda tetapkan. Begitu pula dengan Nito, dia ingin yang terbaik untuk semua anaknya.

"Bunda, hari ini aku sekolah SD ya? Kayak Mas Fafa?" tanya Nayra pada Ninda yang masih menyiapkan makanan untuk sarapan keluarganya. Jadwal menu masakan Ninda hari ini adalah tumis kangkung.

"Iya ndhuk, dari tadi malem lo kamu tanya itu terus. Ndak bosen apa kamu tanya terus? Bunda aja bosen ndhuk dengernya." Begitulah Ninda, dia sosok bunda yang jujur, kalau tidak suka ya bilang saja tidak suka. Katanya itu adalah salah satu cara mendidik anak yang baik.

Nayra yang masih sibuk dengan tas baru-nya seketika cemberut mendengar jawaban dari Ninda. "Kan aku semangat bun sekolahnya, liat nih tasku udah rapi kan?" begitu katanya.

Nito yang masih membaca koran di ruang tamu terkesiap mendengar kata-kata yang keluar dari mulut putri satu-satunya itu. Nito tak menyangka kalau Nayra sudah bisa mengeles seperti itu, sepertinya bakat dari Nito memang turun ke Nayra.

"Kamu nanti jadi adik kelasku. Hahahaha." Suara Nino yang baru saja keluar dari kamarnya itu menghentikan pergerakan Nayra yang sedang memasukkan bekal-roti yang ia olesi selai sendiri-ke dalam tas-nya, padahal hari ini Ninda hanya mendaftarkan saja belum memasuki masa sekolah.

Nayra kemudian menolehkan kepalanya pada Nino lalu bergeser ke arah Ninda. "Bun, kok aku di sekolahnya Kak Nino?" tanya Nayra polos.

Ninda menggerutu kesal lagi setelah mendengar pertanyaan yang di keluarkan Nayra. Putri satu-satunya ini sepertinya memang pandai membantah. "Terus kamu mau dimana tho ndhuk? Kan enak tho udah satu sekolah sama Kak Nino." Timpal Ninda.

Sepertinya perbincangan pagi ini bisa di kategorikan dalam perbincangan panas antara anak dengan sang bunda. Pasalnya daritadi yang terlihat naik pitam hanyalah Nayra dan Ninda, sedangkan para kaum adam yang ada di rumah itu hanya menonton mereka saja.

"Kan aku mau di sekolahnya Mas Fafa bun." Nayra turun dari kursi makan setelah memasukkan bekal rotinya itu. "Kata Mas Fafa di SD-nya ada banyak bapak-bapak jualan mainan bun. Emang di sekolah Kak Nino ada?" tambah Nayra.

Nino yang mendengar pertanyaan receh adiknya itu kemudian tertawa terbahak-bahak. "Ya ada lah Nay, banyak banget malah. Lucu banget sih Nay, jadi pengen buang ke laut."

"Hush Ninooo, omongannya gimana?" tegur Nito yang masih terpaku pada koran di hadapannya.

Tanpa mempedulikan kata-kata yang di keluarkan Nino, Nayra tiba-tiba meninggalkan keluarganya menuju kamarnya. Ninda dan Nito sudah paham dengan gelagat Nayra yang tiba-tiba berubah menjadi seperti itu. Tapi ya mau bagaimana lagi, Nayra harus mau satu sekolah dengan kakaknya.

Alasan Ninda dan Nito menyatukan Nayra dan Nino di satu sekolah yang sama agar mereka tidak perlu bolak-balik untuk mengantarkan mereka berdua. Apalagi kalau Nayra meminta satu sekolah dengan Fathan, sudah bisa dipastikan Ninda dan Nito tidak setuju. Karena sekolah mereka berlawanan arah dan sekolah Fathan bisa dibilang cukup jauh dari perumahannya.

Nayra memasuki kamar miliknya yang didominasi warna pink itu. Nayra memang sangat suka dengan warna pink, wajar saja kalau sebagian besar peralatannya berwarna pink. Setelah menutup pintu kamar dengan bantingan yang cukup keras, Nayra duduk di pinggir kasur Queen size-nya dan menangis.

"Hiks hiks kenapa aku gak bisa satu SD lagi sama Mas Fafa hikss." Air matanya mulai berjatuhan silih berganti, seprai bergambar princess Aurora juga mulai dibasahi oleh air mata Nayra yang jatuh.

Adhesi[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang