✔ MATE - 9

8.7K 933 101
                                    

...

"Gue akan bilang sama Mami dan Papi kalo kita saling mencintai!"

"Mmmpppppffftttt, ngigo lo ya?" seruku sambil menoyor kepala Ali. Aku masih tertawa sementara Ali malah menatapku dengan pandangan serius.

Sebenarnya aku kaget mendengar pernyataan cinta Ali. Kami saudara sepupu, mana mungkin bisa bersama. Dan entah kenapa sampai sekarang jantungku rasanya berdetak kencang.

Ah, mungkin ini karena efek kaget saja. Tidak mungkin aku juga menyimpan rasa untuknya.

Aku menepis perasaan aneh yang tiba-tiba hinggap dengan menggelengkan kepalaku.

"Gue serius, Prill. Gue suka sama lo!" bisik Ali.

Aku menoleh menatap ke arah meja makan kami. Disana keluarga besar kami sedang berkumpul menunggu tamu dari keluarga calon tunangannya Ali.

"Gue lebih serius, Li. Lo kira kita main rumah-rumahan? Lo jadi bapaknya dan gue jadi ibunya? Kita udah besar, Li. Kita mulai nentuin pilihan hidup kita. Dan sebagai anak harus nurut apa kata orang tua kita---"

"Gue gak bisa, Prill. Gue tetep gak bisa. Lo gak tau sih rasanya jadi gue," keluh Ali. "Pokoknya gue gak mau tau, gue bakalan ngomong sama mereka kalo gue suka sama lo---"

"Jangan gila, Li!" selaku cepat.

"Gue gila kayak gini karena lo, Prill!" sahutnya. "Sekarang jelasin ke gue. Apa arti ciuman kita?"

Aku mengernyit lalu tertawa pelan. "Ciuman? Bukannya lo juga sering lakuin hal itu sama 'mainan' lo?" Aku menekankan kata terakhir di kalimatku.

"Itu beda, Prill. Lo gak bisa ngerasain perasaan gue lewat ciuman itu?" tanya Ali membuatku mengangkat kedua pundak. "Apa perlu gue cium lo di sini? Di depan semua orang?"

Aku seketika beranjak dari tempat dudukku. Ali juga ikut berdiri. "Cukup, Li. Gue bukan cewek diluar sana yang selalu lo kejar saat lo lagi butuh dan lo buang begitu lo bosan. Cinta itu gak sesimple itu."

"Prill---" tangan Ali terulur dan hendak menyentuhku tapi aku dengan cepat menepisnya.

"Pikirin sama apa yang lo omongin barusan!"

Setelah mengatakan itu aku memilih masuk ke dalam, menemui Om Salman dan Tante Meri.

"Hai, Sayang!" sapa Tante Meri.

"Mm, maaf Tante. Sepertinya aku gak bisa lama disini. Mendadak---kepalaku pusing. Aku mau istirahat di rumah!" terpaksa aku berbohong.

"Kamu kenapa, Sayang?" Mama menghampiriku dan menyentuh pipiku dengan lembut. "Gak panas. Kamu masuk angin mungkin!"

Aku menggeleng pelan. "Aku pengen tidur, Ma. Kepalaku terasa berat!"

Mama dan Tante Meri saling berpandangan. "Kamu sakit? Aduh maafin Tante ya sayang. Tante gak tau kalo kamu gak enak badan gini!" sesal Tante Meri.

"Kamu beneran mau pulang, Prill?" tanya Mama. Aku mengangguk sebagai jawaban. "Ya udah biar di anterin sama Papa---

"Aku naik taxi aja, Ma!" sambarku.

"Udah malem loh, Prill. Kalo ada apa-apa gimana?" sahut Tante Meri.

"Beneran Tante aku gak pa-pa, kok!"

"Biar aku aja yang anter Mbak Prilly, Mi!!"

Suara itu membuat aku, Mama dan Tante Meri menoleh.

"Ah untung ada kamu. Kamu beneran gak pa-pa, Sayang?" Tante Meri merangkul pinggang Dara yang kini berdiri di sampingnya.

"Iya, Mi. Gak pa-pa. Lagian ini acaranya Bang Elang kan? Aku gak hadir juga gak pa-pa!"

✔ MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang