✔ MATE - 20

9K 948 56
                                    

...

"Bikin gue hamil, Li. Gue yakin mereka pasti langsung setuju!"

Ali terlihat terkejut mendengar ucapanku. "Lo yakin?" tanyanya dan hanya aku jawab dengan anggukan.

Mungkin inilah jalan satu-satunya agar hubungan kami direstui. Aku juga lelah jika sewaktu-waktu nanti Papa dan Mama mencarikan calon untukku.

Percuma. Karena hatiku tak akan bisa aku bagi. Hanya untuk Ali.

Ali tersenyum sambil mengelus rambutku. Perlahan ia mendekatkan wajahnya membuat mataku terpejam. Tapi sedetik kemudian mataku terbuka saat Ali mendaratkan kecupan lembut di keningku dan tersenyum ke arahku.

"Tapi bukan kayak gini caranya, Prill. Masih banyak cara buat mencari restu orangtua kita!" Ali menarik dirinya dan membenarkan bajuku yang sudah berantakan lalu ia membenarkan bajunya sendiri.

Ia lalu bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar.

"Lo gak cinta kan sama gue?" seruku. Langkah Ali seketika terhenti. Ia menoleh.

"Kenapa lo nanyanya gitu? Kalo gue gak cinta sama lo, buat apa gue ngakuin di depan Papi Mami, didepan Om Ando dan Tante Ella?"

Aku tersenyum getir mendengarnya. "Kenapa lo bisa nyentuh mereka tapi gak mau nyentuh gue?" lirihku.

"Hei," Ali berjalan cepat menghampiriku. "Dengerin gue, Prill. Gue emang cowok brengsek, gue suka gonta ganti cewek tapi gue gak bisa nyakitin cewek yang gue cintai!"

"Tapi lo udah nyakitin gue, Li," sahutku cepat. Ali hanya menggeleng pelan. "Tinggalin gue, Li. Gue pengen sendiri!"

Ali perlahan menarik dirinya dan menjauh. Melangkah pelan meninggalkan kamarku. "Setengah jam lagi gue kesini dan gue harap, lo udah selesai packing!"

Saat pintu kamarku tertutup, saat itu juga airmataku luruh. Dua kali aku mendapat penolakan dari Ali dan satu hal yang membuat aku semakin sakit. Setengah jam lagi ia akan kembali untuk memastikan aku selesai packing. Kenapa dia tidak mencegahku pergi?

Kenapa disaat aku sudah mencintainya, ia malah membiarkan aku pergi?

Kuusap kedua pipiku dengan kasar lalu bangkit dari tempat tidur. Secepat mungkin aku membereskan barang-barangku. Memasukkan asal ke dalam koperku. Dan tidak sampai setengah jam, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Tak banyak yang aku bawa, hanya 1 koper saja.

Aku menenteng koperku keluar apartemen, mengabaikan pesan Ali. Hatiku sudah terlanjur sakit. Sakit karena penolakan itu dan sakit karena perkataan Ali.

Ia membiarkanku pergi?

Oke. Aku akan pergi dan mungkin tak akan kembali lagi.

Selamat tinggal Ali.

"Pa, aku ingin berangkat ke London malam ini---"

"Papa masih sibuk, Sayang. Jadwal berangkat kita kan lusa," potong Papa.

"Aku maunya malam ini, Pa. Kalo Papa gak mau nyiapin biar aku saja!"

Papa terdengar menghela nafas berat. "Baiklah. Baiklah. Kasih Papa waktu setengah jam buat nyiapin semuanya---"

"20 menit, Pa!" potongku.

"Kamu ada masalah, Prill?" tanya Papa khawatir.

"Pokoknya 20menit, Pa!" aku memilih tak menanggapi pertanyaan Papa. "Kalo Papa gak sanggup, mungkin Papa gak akan bisa ketemu aku lagi---"

"Prilly, jangan gegabah. Oke. Oke. 20 menit. Nanti Papa kabari kalau sudah siap!"

"Makasih, Pa. Jangan ada yang tau soal ini, Pa. Termasuk Mama. Aku sayang sama Papa dan Mama!" ucapku diakhir kalimat sebelum memutuskan sambungan telpon.

"Ya, Sayang. Papa dan Mama juga sayang sama kamu!"

Aku menaiki taxi yang sudah standby di depan apartemen. Sambil menunggu Papa mempersiapkan semuanya, aku memilih keliling kota Surabaya. Mau cek-in di hotel juga percuma.

"Jalan aja, Pak. Terserah mau muter kemana!" kataku singkat dan diangguki oleh sopir taxi.

Pandangan mataku menatap kearah luar kaca mobil. Berkali-kali aku mengusap airmataku yang tak henti-hentinya mengalir. Airmata itu semakin deras mengalir saat ada panggilan dari Ali. Beberapa pesan juga masuk. Aku mengabaikannya.

Aku membuka kaca mobil dan hendak melempar ponselku tapi aku urungkan. Aku ingat, saat ini aku sedang menunggu kabar dari Papa. Aku mendesah pelan dan kembali menutup kaca mobil. Layar ponselku terus berkedip, ada panggilan masuk dari Ali.

...

Aku berangkat, Pa.

Aku menghela nafas pelan sebelum melemparkan benda pipih itu ke dalam tempat sampah. Akan kulupakan semuanya. Termasuk semua kenangan tentang Ali.

...

1 tahun kemudian...

"Prill, sini deh. Mama pengen ngobrol sama kamu!"

Baru saja aku masuk ke dalam rumah tapi Mama sudah menhadangku. Aku mengangguk lalu mengambil duduk di sofa sebelah Mama. Meletakkan tas kerja disebelahku.

"Ada apa, Ma?"

"Gimana kerjaan kamu? Lancar?"

"Lancar, Ma," sahutku sambil menyandarkan punggungku di sandaran sofa.

"Kamu---kapan ada rencana menikah?"

Aku menoleh cepat menatap wajah Mama yang tampak tersenyum. Lalu kualihkan pandanganku sambil tersenyum samar.

"Aku nyaman dengan apa yang ada dalam hidupku saat ini, Ma!" ucapku pelan.

Mama lalu mengusap punggung tanganku dengan gerakan lembut. "Inget, Prill. Umur kamu sudah cukup matang untuk menjalani hubungan yang serius. Kenapa gak mencoba membuka diri?"

Aku terkekeh mendengar nada bicara Mama yang seolah menuntutku untuk segera menikah.

"Mama takut aku jadi perawan tua? Ya ampun Mama. Tuhan nyiptain makhlukNya itu saling berpasangan. Mama gak usah takut aku gak nemuin jodohku!"

"Bukan gitu, Prill. Maksud Mama itu baik. Ini saatnya kamu mengejar kebahagiaanmu!"

Aku menarik punggungku dari sandaran sofa, tanganku meraih tas dan berniat melangkah ke dalam kamar. "Buat apa mengejar kebahagiaan sementara yang kita dapatkan hanyalah luka!"

...

Semenjak kejadian itu, Mama tak pernah lagi mendesakku untuk segera menikah. Itu membuatku semakin tenang menjalani kehidupan baruku. Aku selalu menyibukkan diri dengan pekerjaanku.

Hari Minggu adalah hari yang paling aku tunggu. Selama 6 hari berkutat di depan layar laptop membuatku serasa hidup seperti robot. Tapi aku tak ingin mengeluh, aku ingin membahagiakan Papa dan Mama. Ingin membuat mereka bangga.

Musim dingin tiba. Dengan memakai mantel dan kupluk, aku berjalan menyusuri jalanan kota London. Menikmati hari liburku dengan jalan-jalan dan perjalananku akan berakhir di sebuah taman. Sebuah headset menutupi pendengaranku. Aku bersenandung kecil sambil mengedarkan pandanganku.

Tapi alangkah terkejutnya aku saat menatap sosok laki-laki tengah berdiri di seberang jalan. Ia berdiri tegap sambil memasukkan kedua tangannya ke saku mantel yang ia pakai. Aku yakin dua pasang matanya menatap ke arahku.

Bagaimana bisa ia ada disini? Apa yang sedang dilakukannya?

Aku langsung putar balik dan mengambil langkah seribu. Sempat melihat ke belakang dan ternyata benar, ia menginginkanku.

Aku benar-benar tak ingin bertemu dengannya.

Satu nama yang membuat hidupku berantakan.

Satu nama yang ingin aku buang jauh dalam duniaku.

Satu nama yang aku benci selama hidupku.

Max.

...

Surabaya, 07 Mei 2018
-ayastoria

✔ MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang