✔ MATE - 21

9.3K 1K 129
                                    

...

Sejak hari itu, aku memutuskan untuk berdiam diri di dalam rumah. Aku takut jika akan bertemu dengannya lagi. Rasa takutku semakin bertambah saat sadar bahwa tak ada Ali disampingku. Orang yang berjanji akan menjagaku.

Aku menekuk kedua lututku dan memeluknya. Aku dulu pernah mengalami hal ini dan saat itu Ali datang padaku. Apa saat ini Ali bisa datang untuk melindungiku?

Aku menatap sendu ke arah daun pintu kamarku. Berharap pintu itu terbuka dan sosok Ali sedang berdiri disana. Aku sangat merindukannya.

Sungguh sangat merindukannya.

Kenapa sulit sekali membohongi hati.
Kenapa sulit sekali menghapus namanya dari hati.

Suara deritan pintu terdengar. Senyumku mengembang menunggu kedatangannya tapi saat sosok lain yang muncul, senyumku seketika sirna. Aku kembali menunduk sambil memeluk kedua lututku.

"Prill, Papa mau ngomong sama kamu!" ucap Papa sambil mengambil duduk di sebelahku. Menyandarkan punggungnya di tepi tempat tidurku. Tangannya perlahan mengusap kepalaku.

Aku seperti dejavu. Dulu, Ali yang melakukannya. Persis seperti ini. Saat aku terpuruk. Aku hanya melirik Papa dari ekor mataku.

"Papa dengar---Maxime ke London untuk mengurus Perusahaannya---"

"Jangan sebut nama dia lagi, Pa. Prilly mohon!" potongku cepat sebelum isak tangisku pecah. Aku benar-benar tak bisa mendengar namanya. Aku benar-benar takut keberadaannya membuatku jatuh seperti dulu lagi.

Papa langsung memelukku dan menenangkanku. "Maafin Papa sayang. Maafin Papa kalo selama ini Papa egois. Papa tidak memikirkan perasaan kamu!"

Aku semakin menenggelamkan wajahku dalam dada bidang Papa. Menangis, mungkin bisa sedikit mengurangi rasa sesak didadaku. Mengurangi rasa rinduku yang kian menumpuk.

"Kamu tenang aja, Papa jamin dia tidak akan bisa mengganggumu lagi. Papa akan lakukan apapun untuk melindungimu!" Papa mengecup pucuk kepalaku dengan lembut.

Mataku terpejam sambil menarik nafas panjang. Aman dan damai sekali berada dalam pelukan Papa.

"Papa---boleh tanya sesuatu?" tanya Papa ragu. Aku hanya mengangguk dan terus memeluk Papa. "Kamu dan Elang---"

Ucapan Papa terhenti saat aku tiba-tiba menarik diriku. Aku menatap Papa sebentar dan kembali menunduk sambil memeluk kedua lututku. "Maafin Prilly, Pa. Prilly gak bermaksud membuat Papa kecewa---"

"Apa benar kalian saling mencintai?" potong Papa.

Aku bungkam. Apa dengan mengakui perasaanku, aku bisa menggenggam cinta Ali? Aku bisa hidup bersamanya? Rasanya mustahil, mengingat Ali hanya mempermainkan perasaanku saja.

"Itu hanya masa lalu, Pa dan aku tidak akan menoleh ke belakang!"

Papa terlihat menganggukan kepalanya beberapa kali. "Lalu, apa sekarang sudah ada nama lain sebagai pengganti Elang?"

Aku kembali menatap Papa, hanya sebentar. Aku menggeleng pelan. "Aku tidak mau mikirin hal itu dulu, Pa!"

Untuk beberapa detik terjadi keheningan antara aku dan Papa. Akhirnya Papa kembali membuka suaranya.

"Besok, Papa dan Mama akan ke Indonesia. Kamu ikut?" tanyanya.

"Urusan bisnis, Pa?" tebakku sambil menoleh ke arah Papa.

Papa tersenyum lalu menggeleng. "Bukan, Sayang. Papa dan Mama diundang ke acara nikahan!"

"Ooh, relasi Papa yang akan menikah?" tebakku lagi.

✔ MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang