✔ MATE - 19

9.2K 987 74
                                    

...

Dalam hati aku terus mengucap syukur, insiden sore itu tidak sampai membuat Max meninggal. Tapi luka di organ dalamnya cukup serius. Ini hari kedua Max terbaring lemah di brankar rumah sakit dan selama itu pula aku terus mengurung diri di kamar rumahku.

Ali memutuskan untuk membawaku pulang ke rumah Mama. Keadaanku yang tidak memungkinkan membuat Ali melakukan hal itu.

Ali juga mencoba meyakinkan Mama dan Papa jika aku tidak bersalah. Max yang ingin menyerangku.

Aku duduk bersandar di pinggiran tempat tidur sambil memeluk kedua lututku. Meletakkan kedua telapak tanganku di atas lututku dan meletakkan ujung daguku di atas punggung tanganku.

Pandangan mataku kosong. Kadang aku menjerit histeris saat mengingat peristiwa malam itu. Kadang aku menangis tanpa suara. Dan Mama yang selalu menenangkanku.

Suara deritan pintu kamar yang terbuka tak membuatku menoleh. Aku menyadari ada Ali sedang berdiri disana tapi aku memilih diam, diam pada posisiku.

Ali melangkah mendekat dan langsung duduk di sebelahku. Menekuk sebelah kakinya dan menselonjorkan kaki satunya.

"Gue kangen sama lo!" bisiknya tepat di telingaku. Aku tak merespon. Hanya berkedip pelan. Tangan Ali tiba-tiba meraih kepalaku dan menariknya, meletakkannya ke dada bidangnya.

"Gue bukan pembunuh. Gue bukan pembunuh!" racauku.

"Sssssst!" Ali mengusap kepalaku dan mendaratkan kecupan lembut disana. "Dia gak mati, Prill. Dia masih hidup."

Seketika aku mendorong dada Ali dengan kasar. Sepintas aku melihat bayangan wajah Max yang menyeringai ke arahku, membuatku langsung berteriak histeris.

"PERGI! PERGI!" teriakku sambil mendorong Ali. Ali berusaha menenangkanku.

"Prill. Ini gue. Ali!" katanya sambil berusaha meraih kedua pundakku. Aku menepisnya dengan kasar.

"Please, Max. Lepasin gue!" airmataku lolos begitu saja.

"Prill. Lihat gue. Ini gue!" Ali menangkup kedua pipiku dengan kuat.

Seketika pandangan mata kami bertemu. Wajah Max tiba-tiba berganti dengan Ali. Aku langsung berhambur ke pelukan Ali, memeluknya sangat erat. Rasa takut itu kembali menyerangku.

"Max--dia---dia---"

"Sssssttt. Ada gue disini. Gue jamin dia gak akan berani nyentuh lo lagi!"

Aku menangis sesenggukan dalam pelukan Ali. "Jangan tinggalin gue lagi, please!" pintaku. Ali mengusap kepalaku dan memelukku semakin erat.

"Gue janji. Gue gak akan ninggalin lo. Gue akan disini!"

...

1 minggu kemudian...

Keadaanku mulai stabil tapi Papa melarangku untuk kembali bekerja di Eagle Group. Yang membuatku kaget saat Papa mengatakan jika akan pindah ke London. Aku dan Mama juga akan ikut.

Lalu bagaimana hubunganku dengan Ali?

Papa menentukan lusa adalah hari keberangkatan kami. Papa memang mempunyai Perusahaan disana dan rencananya aku yang akan melanjutkannya.

"Gue mau ke London, Li!" ucapku pelan saat aku dan Ali tengah duduk di salah satu cafe.

Ali menatapku lurus tanpa berkedip. "Lo jangan bercanda, Prill," sahutnya sambil terkekeh.

"Gue serius. Lusa gue berangkat!"

Beberapa detik kami terdiam, saling menatap. Entah apa yang ada dalam pikiran Ali. Matanya seolah memancarkan rasa kekecewaan.

✔ MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang