Prolog

48.9K 3.9K 153
                                    

"KAMU NGGAK BISA NIKAH SAMA DIA!!!" pekik Baron sambil beringsut dari kursi. "Kamu itu pacar aku! Milik aku! Cuma aku yang berhak jadi pendamping kamu, Sha!"

Shanira tidak menjawab. Ia hanya menunduk, berusaha menghindari tatapan marah sang kekasih yang mengulitinya dari ujung ke ujung. Lama-kelamaan, bahu gadis ini mulai naik turun. Disusul bulir air yang menetesi paha, juga suara sesenggukan.

Kalau sudah begini, biasanya Baron akan luluh. Pemuda berewok itu akan memeluknya, mengusap puncak kepalanya, dan melemparkan kata-kata penenang.

Tapi untuk saa ini, maaf saja. Bukannya iba, Baron justru merasa gelenyar panas memenuhi jiwa raga. Pasokan oksigen seakan habis dalam sekali hirup. Badannya gerah bukan main. Tidak hanya hati yang disinggahi lahar panas. Isi kepalanya pun seperti terbakar. Seandainya amarahnya bisa direfleksikan menjadi api, sudah pasti sekujur wajahnya sedang meleleh.

Tua bangka biadab! hardik Baron dalam hati. Sudah mampuspun tetap saja bikin susah!

Tadinya lelaki jangkung ini kira, hari ini adalah hari baik. Secara tak terduga, kekasih yang sudah dua bulan alpa membesuknya di rutan ini tiba-tiba muncul. Tapi belum sempat petugas menepi agar mereka leluasa berduaan, berita yang disampaikan Shanira membuat Baron mati kutu.

"Bar, ada orang yang ngelamar aku," begitu katanya dengan mata berkaca-kaca. "Dia dokter yang biasa nanganin Ayah."

"Bajingan!" desis Baron sambil membentuk tinju di tangan. "Berani-beraninya dia ganggu pacar orang."

"Dia nggak ganggu, Bar. Dia ngelamar."

"Besok bawa dia ke mari!" Baron memandang Shanira dengan mata berapi-api. Tangannya terkepal semakin kuat hingga buku-bukunya memutih. "Biar aku hajar sampai kapok!"

Reaksi gadis itu di luar dugaan. Ia malah menggeleng diikuti air mata menggenang. Dan seakan tak puas menghujam dada Baron, ia kembali bersuara, "Bulan depan hari pernikahannya."

Baron memekik sambil berdiri dari kursi. Baginya, Shanira adalah miliknya. Cuma dia yang berhak menjadi suaminya! Kalau ada yang berani menggugat hal tersebut, ia bersedia mematahkan lehernya sekarang juga.

Memang sudah lama hubungannya dengan Shanira tak ada kejelasan. Belum lagi jarak keduanya terpisah jeruji besi sejak enam bulan lalu. Tapi tetap saja Baron tak bisa menerima berita ini. Shanira adalah pacarnya, miliknya!

"Aku benar-benar minta maaf, Bar," sambung gadis itu, masih tergugu.

Baron hilang kontrol. Ia menghantamkan tangannya ke atas meja. Seketika kaca yang melapisipun remuk, kemudian tercerai. Di samping jerit pecahan yang membentur lantai, darah segar di tangannya mengucur deras. Persis seperti air cucian ketika kainnya diperas. Namun bukannya berhenti, Baron justru semakin menggila. Digulingkanlah meja setinggi bokongnya itu, ditendang-tendang hingga kaki penyangganya patah.

Belum sempat ia bertindak lebih jauh, petugas membekuknya.

-bersambung

Thanks berat udah mampir. Hope you like it 😀

Keep reading 😉

4 Mei 2018

Pendamba Jari ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang