Agenda Janish di luar pulau sebenarnya sudah selesai sejak seminggu yang lalu. Ia kembali ke Jakarta bersama para kru, ia pun sudah menghirup udara ibukota dari kapan hari. Tetapi faktanya, ia belum menginjakkan kaki di rumah kakaknya. Dengan alasan adanya urusan pribadi, Chacha dan yang lainnya mengiyakan saja kepamitan Janish saat itu. Tanpa curiga sedikitpun.
"Kamu kenapa sih, Yang? Lecek banget mukanya." Janish berbicara pada lelaki di hadapannya. Dengan baju tidur super tipis nan transparan, sebentuk gunungnya nampak mengintip. Kalau bukan pada Darius, pada siapa lagi ia berani tampil sesensual itu.
Terpisah hampir sebulan namun hanya dibayar tiga hari rupanya masih kurang. Di malam pertama mereka jalan-jalan di sekitar resor, di malam kedua keduanya bermesraan di ruang tamu, dan di hari berikutnya barulah tamasya firdaus. Tetapi aneh, wajah Darius nampak masam sejak bangun tadi. Janish tidak mengerti kenapa bisa demikian. Padahal biasanya, lelaki itu akan tampak bahagia jika keduanya selesai bercinta.
"Aku tanya kamu kenapa, Darius?" desak Janish geram. Ia sudah seperti kudapan lezat yang tersaji di atas meja. Menggiurkan tapi malah diabaikan.
"Aku yang harusnya tanya kamu kenapa," jawab lelaki itu seraya memandangnya.
"Aku? Aku nggak kenapa-kenapa. Sumpah!"
Darius mendengus. Sekaramg selera sarapannya benar-benar ludes. Lahar panas seakan menguasai perutnya, membuat ia muak sekaligus ingin meledak.
"Sekarang aku tanya," sambung lelaki berpiyama merah marun itu. "Berapa kali kamu tidur sama Baron?"
"Apa?!"
"Nggak biasanya kamu kayak semalam," tutur Darius sambil menekuk alis. "Jadi aku yakin, saking seringnya kamu tidur sama Baron makanya kamu lupa dengan gaya biasanya."
"Kamu pikir aku cewek apaan?" pekik Janish. "Tega ya, kamu nuduh aku kayak gitu!"
"Kamu nggak sepatutnya marah kalau ngerasa nggak salah."
"Asal kamu tahu, aku marah bukan karena itu!" elak Janish. Ia mengerucutkan mulut, menekuk kening, barulah menyambung, "Aku marah karena kelakuan kamu! Apa kamu lupa? Semalam nama yang kamu sebut malah Melia, bukan aku. Lalu sekarang, dengan merasa nggak berdosanya kamu nyoba ngebalikkan keadaan. Dasar sialan!"
Lengang beberapa saat. Audio yang menguasai ruangan hanya jarum jam yang berdetik dari kamar. Juga deru napas Janish yang begitu geram.
Darius bisa melihat mimik murka terlukis di wajah kekasih gelapnya. Ditambah kepalan tangan yang membuat buku-bukunya memias, juga rahang yang nampak mengetat, semakin jelaslah Janish yang seakan siap meledak. Perlahan tapi pasti, Darius menjadi merasa bersalah, sekaligus malu sendiri. Benarkah demikian? Benarkah nama Melia yang ia desahkan semalam? Wow, tumben sekali. Batinnya.
Tapi bisa jadi Janish berdusta! tolak sisi hati lainnya. Janish sengaja bicara begitu supaya posisi siapa yang bajingan berubah. Iya, bisa jadi begitu!
Darius yakin, ia tidak mungkin salah terka. Ia sudah menghabiskan malam-malam panas dengan Janish. Ia hapal bagaimana kebiasaan, cara, dan teknik yang dilancarkan perempuan itu. Janish yang biasanya pasrah dalam dekapan, semalam terasa berbeda. Di awal-awal ia seperti menolak untuk dimasuki, ada gerakan kontra darinya. Ketika Darius menegurnya barulah ia kembali ke jalur biasa. Selain itu, di tengah-tengah perhelatan tersebut, beberapa kali Janish menggigit bisepnya. Itu jelas bukan gaya Janish!
"Setiap saat kamu selalu curiga, selalu nuduh, selalu mau menang sendiri," sambung Janish dengan nada kian tinggi di akhir kalimat. "Aku capek kalau kayak gini terus! Jadi udah, lah. Kit ... "
"Aku kayak gini karena aku cinta sama kamu.
"Kalau kamu cinta, kamu nggak akan securang ini," tukasnya seraya melipat tangan di dada. "Kamu ngelarang aku buat ngapa-ngapain sama Baron, tapi kamu bebas ngelakuin apa aja sama Melia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficțiune generalăBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...