Sakit!

16.2K 1.8K 236
                                    

Shanira yakin, sesuatu telah terjadi pada Janish dan Baron. Belakangan keduanya kelihatan tak saling sapa. Mereka pun kadang mengabaikan kehadiran satu sama lain. Selain itu, kemesraan yang selama ini dipertontonkan seakan menguap tanpa jejak. Jangankan saling rangkul atau peluk, kalau Shanira tak salah terka, ada radar permusuhan jika mata mereka beradu.

Jika dampaknya tak berpengaruh padanya, Shanira tak akan ambil pusing. Tetapi nyatanya, ia terkena imbas. Yang entah kenapa, sangat menganggu ketenangannya.

Sikap Baron, itu salah satu penyebabnya. Shanira merasa, lelaki berewok itu menjelma menjadi sosok di masa lalu. Yang lebih tepatnya, masa mereka sebelum pacaran. Baron bukan saja menyebalkan, ia pun selalu berusaha mencari kesempatan agar mereka berada dalam situasi yang sama. Ia juga kerap meminta bantuan yang sebenarnya bisa dilakukannya sendiri. Membuat kopi, misalnya. Atau, mencuci pakaian.

Awalnya Shanira bersedia saja melakukan itu semua. Mengingat kerjaannya sebagai istri Hangga memang itu. Tapi lama-lama ia resah juga. Pasalnya, setiap ia selesai mengerjakan permintaan, Baron akan memberi hadiah berupa barang-barang.

Dan jangan lupa! Makin ke sini, permintaan Baron terasa tidak rasional. Ia sering minta ditemani ke mall, memaksa antar jemput, ikut masuk saat cek kandungan, bahkan yang paling gila, minta dipijat!

Tentu saja Shanira masih cukup waras sehingga ia bisa menolak itu semua. Hatinya juga selalu mengimbau, bahwa saat ini Tuhan pasti sedang mengujinya. Di tengah Hangga yang hanya bisa terbaring lemah, Baron muncul sebagai godaan. Ditambah Janish yang selalu pulang larut, semua itu memberi tekanan lebih kuat.

"Sha," panggilan Hangga membuat perempuan itu tersadar dari lamunan. "Ada sesuatu yang ganggu kamu, ya?"

"Nggak ada, Mas," dustanya seraya menyunggingkan senyum. Kepada Hangga, ia memang tidak bicara apa-apa soal Baron. Selain merasa tak pantas, ia pun tak ingin memperburuk kondisi Hangga yang nyaris menyentuh titik minimum.

"Sha, Mas mau cerita sesuatu sama kamu." Si sakit itu menatap mata istrinya lekat-lekat kemudian menyambung, "Bukan cerita penting, sih. Tapi Mas pengin kamu tahu."

Shanira menunggu kelanjutan cerita seraya menatap tanpa kata.

"Dulu Mas punya pasien. Namanya Galih. Usianya tujuh tahun. Dia sakit kayak Mas. Tapi bedanya, dia ketularan orangtuanya. Dan juga, dia jauh lebih baik dari suami kamu ini.

"Dia selalu ngikutin semua anjuran dokter. Dia nggak ngeluh sesakit apapun badannya. Dia juga selalu percaya kalau dia bakal sembuh.

"Setiap hari Mas pasti jengukin dia. Sesibuk apapun Mas di bangsal anak. Kadang kita baca buku bareng, atau ngerangkai lego, atau jalan-jalan di sekitaran RS. Kalau kebetulan dia lagi tidur pas Mas dateng, kita surat-suratan. Bunyinya: Galih, tadi saya dateng pas kamu lagi berpetualang. Besok ceritain mimpi kamu, ya. Dan serunya, dia pasti ngelakuin itu.

"Kalau aja Galih nggak sakit, Mas bisa jamin dia akan jadi anak yang ngebanggain. Selain penuh semangat, dia juga pinter. Banyak banget pertanyaan yang kadang bikin Mas mikir keras. Dan kamu tahu, pertanyaan yang paling nggak bisa Mas jawab hanya satu : Dokter Hangga, mati itu apa?"

Kalimat terakhir Hangga membuat Shanira menelan saliva takut-takut.

"Satu minggu sebelum meninggal, Galih ngajuin pertanyaan itu lebih sering. Karena Mas nggak yakin dengan jawabannya, Mas selalu ngelak. Hingga hari itu datang, Galih nggak pernah tahu jawabannya."
Hangga tersenyum pahit.

"Kamu tahu, Sha. Mas ngerasa bersalah atas kepergiannya. Bukan cuma karena Mas gagal nyembuhin dia. Galih pun meninggal di pelukan Mas. Masih kerasa banget kayak gimana dia pergi. Dengan senyum pasrah, dengan pertanyaan yang masih menggantung di benak, dan dengan sorot mata yang seakan bilang : 'Dokter Hangga, beginilah mati sebenarnya. Di mana kamu udah berusaha, di mana kamu memercayai usahamu takkan gagal, tapi hasilnya ... nihil.'"

Pendamba Jari ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang