“Semua orang tahu kita adalah dua makhluk yang saling kontra,” kata Baron seraya menyentil abu rokok. “Proyek terakhir kita bahkan masih stuck, nggak ada kemajuan.”
Tadi setelah Janish membalas pesannya, si Ular ini langsung mengajak bertemu. Ia bilang hari ini jadwalnya full sehingga ia hanya bisa bersua di jam sebelum matahari terbit. Ia juga mengirim alamat apartemennya dan memerintah agar Baron sampai kurang dari setengah jam. Entah otak calon mitranya ini beku, atau memang Baron sudah tak sabar dengan Shaniranya, yang pasti Janish merasa puas sebab si Tuan Bom muncul tepat waktu.
“Ini bukan proyek antara model dan fotorafer. Jadi gue yakin nggak akan sekisruh biasanya,” jawab Janish sambil tersenyum jemawa. “Percaya sama gue, Barbar. Apa yang kita lakuin ini merupakan simbiosis mutualisme. Lo dapetin Shanira lagi, sedangkan nama gue kembali ke puncak.”
“Cuma karena pamor, lo nekat ngelakuin ini?” Baron mendecakkan lidah. “Rasanya alasan lo nggak masuk akal!” Ia geleng-geleng kepala. “Sekarang gue tanya, apa lo nggak mikirin Hangga?”
Baron tak pernah tahu, seorang Agynta Janish tak pernah memikirkan orang lain. Yang penting gue bahagia, itulah prinsipnya. Ia yakin bahwa hidup memang harus seperti itu. Kalau kita selalu merasa tak enak pada orang lain, yang ada orang lain akan seenaknya pada kita.
“Gue nggak pernah sayang sama dia,” kata Janish ketika lelaki di sebelahnya masih menunggu jawaban. “Bukan kakak kandung juga, kok.”
“Tapi beneran harus nikah?” tanya Baron. “Nggak adakah cara lain?”
“Nggak ada!”
“Lo nggak lagi hamil, kan?”
Janish terdiam. Tapi kemudian tergelak. Entah di bagian mana lucunya.
“Gue anti hamil-hamil club.” Kembali ia terkekeh. Kembali Baron dibuat bingung dengan selera humor si Ular. “Malahan lo mesti tahu, gue ini masih gadis.”
“Bohong!”
Janish mengangkat bahu, Baron kembali merenung.
“Gue masih keberatan di bagian nikahnya,” kecap Baron setelah meniupkan asap rokok. “Kalau cuma naikin pamor, rasanya pacaran juga udah cukup.”
“Gue kan lihat dari sisi lo juga, Goblok!” Janish gemas. “Misal nih, kita cuma pacaran. Ya terus gimana caranya lo mepetin Shanira? Rencananya kan, kita tinggal serumah sama mereka. Ntar lo bisa ketemu Shanira kapanpun dan gunain itu sebagai kesempatan. Seandainya kita cuma pacaran, mana bisa lo ketemu Shanira sesering itu?”
Baron diam sejenak. Rokok di jari kanannya ia taruh di ujung bibir. Disedotnya asap kuat-kuat kemudian dikeluarkannya dengan sekali embus.
“Lo lagi nggak manfaatin gue, kan?” tanya Baron seraya menoleh ke wajah Janish. Dan persis seperti dugaannya, ada yang berubah dari mimiknya. Tapi hanya sekejap. Perempuan ini cukup mahir mengontrol air muka.
“Gue rasa, di sini emang kita saling memanfaatkan.”
“Sekarang gue tanya lagi.” Baron lagi-lagi meyentil abu. “Kenapa gue yang lo pilih sebagai mitra?”
“Karena saat ini memang cuma lo yang bisa gue andelin.”
Lagi-lagi ada perubahan mimik, batin Baron. Tapi hanya sesaat. Terlalu sulit untuk diterka apa artinya.
“Gue udah coba cari siapa aja yang kira-kira bisa, tapi nggak satupun yang berani sampai nikah,” jelas Janish. “Selain itu, ada keuntungan tambahan kalau gue pake lo. Pasti nanti beritanya bakal lebih bombastis. Lo kan, mantan napi.”
“Heh, jaga mulut lo, ya!”
Orang normal pasti gemetar ketakutan saat dipandang begini oleh Baron. Alis sehitam gagaknya menekuk, matanya nyaris melompat, dan telunjuk yang teracung kurang ajar merupakan kombinasi marah yang menggetarkan dada. Tapi Janish tetaplah Janish. Ia berani!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendamba Jari Manis
Ficción GeneralBaron Prawiratama bukan orang baik. Dia kerap menjadi dalang keributan, dia pun pernah dipenjara atas kasus pembunuhan. Tak terhitung jumlah musuhnya sampai detik ini. Mulai dari sesama fotografer, pejalan kaki, hingga aktris, hampir semua pernah be...